Papah.
“Tuhan gak perlu ngambek,” katanya. Sangsi. Bukannya Tuhan juga punya hati? Dia rasa, setiap ujian yang dia terima ialah bentuk kecemburuan Tuhan karena dirinya mulai lupa. Lalu diingatkan, “kenapa kamu mulai kurang perhatian?” Bukannya menjawab pertanyaan, dia pilih untuk melupakan dan mengingat hal-hal yang mengandung kebahagiaan.
Kenangan.
“Coba bikin gambar benang kusut, nak,” kata seorang ayah ke anaknya. Diiringi dengan pujian, anaknya makin bersemangat menggambar benang kusut tadi. Padahal pujian yang tidak berhenti membuat dia tidak sadar bahwa benang kusut tadi bukanlah hal yang layak diapresiasi. ‘Hanya butuh validasi,’ pikirnya.
Lalu, si ayah izin pergi untuk mengerjakan proyek bersama Tuhan. Kata Tuhan, “ jangan anggap ini ujian. Sebentar. Aku pinjam. Semoga nanti kembali dipertemukan.” Semoga.
Tuhan menjual harapan. Menunggu kapan waktu itu datang, ternyata membuat dia kurang sabar dalam menjalani setiap ujian. Kepercayaannya akan Tuhan perlahan pudar. “Kenapa Tuhan gak langsung kasih aja yang dimau? Kenapa Tuhan mewajibkan untuk menjadi peminta-minta dulu? Ayah dulu gak gini. Ayah tau apa yang kita mau dan diberi tanpa kita nunggu,” katanya. Atas rasa letih dan rindu itu, segala cara dia lakukan untuk bertemu ayahnya.
Susah. Tidak semudah itu ternyata untuk menyusul si ayah. Sedih? Jelas. Marah? Iya. Cemburu? Hal pertama yang menjadi jawaban atas rasa rindunya. “Ayah enak banget bisa ketemu Tuhan duluan. Tuhan juga enak banget bisa ketemu Ayah tiap saat.”
Terus berpikir hal demikian, lama-lama membuat pikirannya tersesat. Dan untungnya segera di sadarkan sebelum terlambat, ‘coba temukan orang baru yang bisa seperti ayah.’
Padahal kata orang, tidak baik membandingkan siapapun dengan orang tuanya. Tapi yasudah, setidaknya pola pikir itu jauh lebih baik dibandingkan terus mengejar mimpi untuk bertemu si ayah secepat mungkin.
Ketemu.
Ada seseorang yang meminta izin pada Tuhan untuk menemaninya. Haru, tapi juga ragu. Keanehan pola pikir dan cara bersikap dirinya membuat dia merasa berbeda, sehingga tidak punya keyakinan untuk itu
“Kewajiban aku itu untuk ngebuat kamu yakin,” kata orang itu padanya.
Hadirnya orang itu membuat dia yakin bahwa Tuhan-gak-ngambek-lagi.
Semoga, dan tentu iya.
“Bahkan, mati cepat bukan lagi jadi pilihan.”
Tangerang, 28 Agustus 2021
Nindy Soeraatmadja