Ares

Tiap orang memiliki kecepatan masing-masing dalam mendewasa. Ada yang lambat, pun terhitung cepat, tergantung dari mana kita melihat. Menyadari perbedaan langkah merupakan bagian dari pendewasaan. Sebaliknya, memaksa untuk sama tanpa ada kesepakatan bersama merupakan tanda belum matangnya pola pikir yang ada.

"Let God do the rest," katanya.

Basi menurut saya.

Tanpa ada usaha, semua akan percuma. Dzat itu juga ingin kita berusaha. Tidak-sekadar-berdoa. Satu yang dicatat: kemampuan bermain dengan waktu. Memahami waktu untuk berhenti atau terus berlari, kunci sukses sederhana untuk berdamai dengan dunia.

"Times will heal."

Biarkan semua melupa atau biarkan ada yang terluka. Hidup itu memang rimba. Harus ada yang dikorbankan kalau kaki masih ingin berpijak di Bumi.

Rahwana, penguasa kegelapan yang dianggap perwujudan angkara murka dan dosa manusia. Tokoh antagonis dalam kisah Ramayana.

Tentang dia, saya ingin bercerita.

Menyadari bahwa warna di dunia tidak hanya hitam dan putih saja merupakan proses pendewasaan. Ibarat koin, sejatinya tiap orang memiliki dua sisi. Sisi yang langsung ditampakan, atau bagian lain yang ditutup Tuhan dengan alasan.

Jahat dengan alasan, pun baik dengan pembuktian.


Begitupun, Rahwana.


Kredo yang ada menggambarkan Rahwana sebagai sosok jahat tanpa debat. Melanggar norma dan etika dengan menculik pasangan hidup orang lain, meskipun terbentuknya norma dan etika tadi merupakan tanda adanya keegoisan dari subjektivitas yang ada. Tapi bukan itu arah pembicaraan saya.

Mencoba memandang suatu hal dari sudut pandang berbeda, coba berempati pada sosok yang dianggap tidak punya hati.

Rahwana mencintai Sinta, wanita yang dipersunting seorang raja dari sayembara. Ada dua pilihan untuk bersama, merelakan dan biarkan semesta bekerja atau berusaha dengan berbagai cara.

Pecundang jika Rahwana memilih semesta membantu tanpa dia berusaha. Lantas, pilihan kedua menjadi jalan yang ditempuh untuk mendapatkan hati Sinta.

Menculik istri raja.

Bertahun-tahun Rahwana menculik Sinta dan menempatkannya di Argasoka, replika dari keindahan surga. Tanpa henti, Rahwana mengucapkan kata cinta kepada Sinta. Dan tanpa henti juga, penolakan pun ia terima. Drama penculikan istimewa yang dilakukan oleh Rahwana.

Atas dasar kegigihan, semesta mengamini cinta Rahwana pada Sinta.

Terbalas.

Namun tidak bisa bersama. Komitmen Sinta dalam menjaga kata setia terhadap raja sangat kuat adanya. Walaupun sang raja tak kunjung menjemputnya, hati Sinta tetap terjaga. Sang raja kemana? Entah.


Cinta membuat kinerja otak Rahwana tidak bekerja. Mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan cinta, mengajak perang raja demi mengecek keberpihakan dunia. Sang raja datang memenuhi ajakan perang, dan...


mati.


Rahwana kalah dalam peperangan.

Sinta bahagia? Belum tentu. Raja yang datang hanya untuk berperang menganggap kesucian istrinya sudah hilang. Keegoisan yang ditampakkan menunjukan bahwa kesetiaan Sinta tidak sepenuhnya terbalaskan. Kesetiaan yang dijaga tak ayalnya di bawah nilai kesucian dan kepercayaan.

Hanya Rahwana yang mampu menerima kondisi Sinta apa adanya.


Bukankah memang begitu harusnya cinta?


Tidak. Dengan mempertimbangkan logika, cinta juga sekiranya perlu memperhatikan wibawa yang harus dijaga. Untuk apa terus mengejar kalau pada akhirnya harga diri buyar?

Rahwana mengajarkan saya bahwa ada banyak warna di dunia. Pun, selalu ada alasan yang dapat dimaklumi pada tiap kejahatan di Bumi. Meskipun hal tersebut tidak layak diikuti, setidaknya hal ini dapat menjadi pelajaran dalam menumbuhkan empati,

jika-aku-menjadi.


"Kita juga harus tau, kapan waktu untuk maju atau mundur. Nikmati alurnya. Let God do the rest."


Tangerang, 23 September 2020


nindy soeraatmadja

Share this:

, ,

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar