Halo, Depresi!


Banyak yang menganggap kalau dunia memiliki banyak janji pada kita manusia. Partikel penggerak kehidupan yang berorientasi pada kebahagiaan. Mimpi atau bisa juga berganti diksi menjadi ambisi, yang perlahan mungkin bisa menjadi ilusi. Karenanya, banyak yang bernegosiasi atas waktu yang dimiliki. Selalu merasa kurang atas dua puluh empat jam sehari.

Apa yang dikejar? Standar kesuksesan karir, keuangan, dan pun kecantikan yang ditentukan oleh asumsi pribadi. Menjadi direksi di beberapa perusahaan, memiliki banyak aset yang dapat diwariskan, dan wajah tirus serta kulit putih mulus yang seakan menjadi syarat mutlak untuk mendapat apresiasi dari lingkungan.

Kamu terus mencoba untuk menjadi rumput paling hijau di lingkunganmu, tanpa kamu sadar akan ‘hukum kebalikan’. Semakin kuat kamu berusaha, semakin kamu jauh dari kata puas.

Ada dia yang mengira bahwa dia menginginkan sesuatu. Dia terus mengejarnya hingga dapat, tapi ketika dia mendapatkannya, ternyata dia sadar bahwa dia tidak menginginkan hal itu. Banyak dari kita yang seperti itu. Kita hanya menginginkan imbalan, bukan jerih payah atas usaha yang kita lakukan. Maka tidak heran, kalau banyak yang merasa kecewa atas waktu dan tenaga yang telah dikorbankan, karena kita belum sadar bahwa letak kegembiraan justru ada pada pendakian itu sendiri.

Ada dia yang berjuang melawan hasratnya sendiri untuk terlepas dari godaan memaksa bumi agar menerimanya kapan saja. Dia merasa kalah atas ambisi yang dia miliki sedari dini. Apa yang diimpikan, ternyata tidak sesuai dengan realita yang dia alami. Dia depresi.

Ada dia yang hafal tiap rasa dari sabun dan shampo di kamar mandi, mulai dari yang tidak berasa hingga pahit luar biasa. Hal itu dia ketahui saat dia berusaha mengeluarkan kembali makanan dari dalam perutnya. Dengan kerjasama kombinasi jari dan sabun atau shampo tadi di dalam mulutnya, dia lakukan itu hanya untuk memenuhi standar kecantikan atas asumsinya pribadi. Dia depresi.

Ada dia yang tidak tidur lebih dari empat hari dan terus berkontemplasi ingin-menjadi-apa dia nanti. Menangis tiada henti karena merasa gagal menjadi manusia, tidak-berguna-bagi-sesama. Memaksa tiap orang di lingkungannya untuk bahagia karenanya, tapi lupa untuk menciptakan kebahagiaannya sendiri. Dia depresi.

Ketika dia sadar bahwa setiap pribadi harus memutuskan kata ‘cukup’, ada yang datang padanya dan berkata, “aku seneng dengernya, dari satu step ke step lainnya bisa bikin kamu bahagia. Aku tetap salut sekaligus bangga sama kamu karena udah bisa lewatin ini semua. Semoga kamu makin bisa berbagi kebahagiaan juga ke orang banyak.”

Atas narasi yang cukup panjang ini, ada sedikit pesan yang ingin kubagi. Bermimpilah semulia-mulianya mimpi, tetap ingat Tuhan yang mengizinkan kita di Bumi. Cukupkan diri pada kata butuh, bukan apa yang kamu ingini. Miliki standar hidup sendiri dan yakinkan bahwa setiap pribadi memiliki waktu untuk mencapainya sendiri.



Atas dedikasi dan syukurmu untuk setiap perjuangan,
selamat menikmati kebahagiaan.




Tangerang, 12 Mei 2020


nindy soeraatmadja

Share this:

, , ,

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar