Bulan Keempat
Dua puluh delapan
bulan empat. Lima hari lalu, seharusnya ulangtahun almarhum papahku.
Sudah hampir lima belas tahun aku memiliki status sebagai anak yatim.
Gak pakai malu, aku justru bersyukur dengan status itu. Dengan cepat
dan tepat, aku bisa menunjukan bahwa aku memiliki ibu yang hebat,
dan tentunya juga
kuat.
Kalau papahku sudah
berada dalam surga, pasti beliau dengan leluasa melihat pergerakanku
di dunia. Dan secara bergantian, papahku merasa bangga memiliki anak
seperti aku. Layaknya aku dulu yang bangga memiliki ayah seperti beliau.
Terkait prinsip dan nilai hidup yang aku miliki saat ini, aku anggap
sebagai warisan permanen yang tidak bisa masuk pasar jual-beli.
Saat ini yang
tersisa tinggal mamah. Menjadi kuat dengan kaki sendiri merupakan
satu-satunya alasan aku bertahan selama ini. Risikonya, hidup aku
terlihat penuh dengan ambisi. Sering merasa inferior dan mengejar
segala apresiasi. Sedihnya, apresiasi yang aku butuhkan bukan dari
orang lain, tapi diri aku sendiri.
Memuaskan diri
sendiri jauh lebih sulit dibanding memuaskan orang lain, selama kita
sadar bahwa perasaan orang lain di luar kendali kita. Berbeda dengan
rasa dan pikiran yang ada di internal kita. Serapat apapun mata,
telinga, dan mulut ditutup, akan tetap ada kalimat kecewa atau
perintah tanpa sumber suara.
Iya, hati kita yang
berkata.
“Kehidupan ini
bukan teka-teki silang yang harus dijawab semua, ndy. Kita ada di
Bumi gak untuk menjawab itu. Gak semua pertanyaan harus dijawab,
karena memang ada sesuatu yang Tuhan biarkan untuk tidak kita cari
tau. Bahagiain dulu diri sendiri, makhluk Bumi yang lain nanti,”
kata aku di depan cermin saat itu.
Merasa bertanggung
jawab atas kebahagiaan orang lain guna mendapatkan validasi dari diri
sendiri, merupakan bentuk keegoisan yang hakiki. Cara mudah untuk
menyakiti diri sendiri. Kamu depresi.
Hidup akan berjalan
sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita pinta. Sesekali,
Tuhan akan mengingatkan dengan menghentikan langkah kita saat
berjalan, atau bahkan saat berlari. Agar kita sejenak menepi,
menyadari sejauh mana kita sudah pergi. Dan mensyukuri atas semua
yang telah kita dapati.
Menjadi monster
untuk diri sendiri, atau bahkan untuk orang lain yang sebenarnya
ingin kita bahagiakan, bukanlah hal yang memalukan. Itu cara spesial
Tuhan untuk mengingatkan. Teguran romantis yang sangat berkesan. Lucu
kan?
“Jangan pernah
malu jadi apapun. Aku senang ada kamu di lintasan hidup aku,” kata
dia waktu itu ke aku. Yang harus kita syukuri, Tuhan selalu adil
dalam merancang naskah kehidupan. Saat kita terjatuh, akan ada tangan
yang terulur untuk membantu kita bangkit dan melanjutkan perjalanan.
“Kamu harus bisa
nemuin orang baru yang bisa terima kamu dari A sampe E yah itu kamu,
nindy. Itu PR aku buat kamu malem ini,” kata dia lagi saat itu aku.
Orang baru bukan berarti mereka yang baru mengenalku, tapi mereka
yang menghargai setiap prosesku dan mau menerima kondisiku saat ini,
maupun di masa lalu. Mereka yang menghargai setiap keputusanku tanpa
tanda tanya, menghormati prinsip dan nilai yang aku jaga, memercayai
apa yang aku rasa.
Atas rasa sabar,
ikhlas, dan tiap syukur yang aku pelajari sampai detik ini,
terima kasih Tuhan
atas kesempatannya membiarkan aku tetap di Bumi.
Tangerang, 28 April
2020
nindy soeraatmadja