Sambutan Pattimura
"Menengok sejarah saat emas setara dengan rempah, mengingat perjuangan pahlawan yang gugur penuh darah, apakah hati ini masih sanggup ingkar dari sumpah?"
Ada kami, delapan belas mahasiswa yang coba mengabdi di
timur Indonesia. Membagi ilmu yang dimiliki pada negeri penuh potensi. Katanya,
tempat itu
yang mengukir kolonialisme awal di nusantara. Surga dunia yang berhasil
menggoda berbagai kaum layaknya Belanda. Tempat indah penuh sejarah. Berada di
Kabupaten Maluku Tengah, tempat dimana Hatta dan Sjahrir pernah dipaksa
singgah.
Iya,
Kepulauan Banda.
Bukanlah hal yang mudah bagi kami untuk menjejak kaki di
sana. Penuh perjuangan dan air mata sebelum kami bertualang secara nyata di
Banda. Hal yang kami anggap tabu, pada akhirnya menjadi salah satu upaya yang dilakukan
agar bisa ke negeri pala itu. Membuka lapak di pinggir jalan, dan menjajaki
baju bekas pakai pada tiap masyarakat yang lewat menjadi kegiatan rutin kami di
akhir pekan.
Hampir tiap acara kampus selalu ada keberadaan kami.
Bertemankan x-banner bertuliskan “Tim
KKN UNS Banda Neira” tanpa malu kami meneriakkan barang dagangan kami. Entah
apapun itu, kami berusaha menjadikannya peluang sebagai modal untuk berangkat
ke tempat mengabdi.
Ada kalanya, totalitas perjuangan dilakukan untuk mendapat
pengibaan dari sang Tuhan. Niat tulus untuk mengabdi, belum tentu diaamiini kalau upaya yang dilakukan masih
setengah hati. Terpilihlah cara lain untuk mewujudkan niat nyata kami mengabdi
di timur nusantara. Pembagian tugas dilakukan oleh kami guna memaksimalkan waktu
yang tersisa. Ada yang coba merantau ke ibukota hanya untuk menyebar proposal
kegiatan, ada pula yang menjual suaranya dengan menyanyi di berbagai tempat
makan. Malu yang ada tertutup saat pundi-pundi uang didapat. Terbayang senyum
adik-adik Banda dengan uang yang ada. “Ini untuk mereka, generasi yang kelak
memajukan Bangsa Indonesia.”
30 Juni 2017, hari keberangkatan kelompok kami menuju Surabaya,
tempat singgah pertama sebelum Kepulauan Banda. Sebentar, mungkin dari sini perspektif
yang digunakan bukanlah kami lagi, lebih tepatnya saya. Saya tidak berangkat di
hari yang sama dengan mayoritas kelompok saya yang menetap di Solo. Dengan memertimbangkan
keefisienan waktu dan pun alasan lain, saya memilih untuk langsung berangkat
dari Jakarta menuju Ambon pada tanggal 2 Juli, nanti.
Mungkin Tuhan ingin menambah cerita saya agar lebih
berkesan. Dua hari sebelum keberangkatan teman-teman, saya mendapat musibah
yang mengakibatkan kaki kiri saya retak. Restu keluarga akan keberangkatan saya
sempat terhambat. Beruntung, pada akhirnya saya dapat meyakinkan mereka kalau, “tenang,
Nindy gak apa-apa.”
Alasan utama saya untuk bersikeras tidak menunda kepergian, karena
kurang akrabnya saya dengan teman-teman kelompok saya kala itu. Banyaknya
amanah di tempat lain yang membuat saya kurang berkontribusi pada tim, memaksa
saya untuk totalitas selama kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) berlangsung. ‘Ini waktunya penebusan. Menunda
keberangkatan sama dengan menambah dosa pada teman-teman,’ begitu pikir saya.
Meski pada akhirnya dipaksakan, nyatanya Tuhan memberi saya kekuatan.
2 Juli 2017, tibalah hari keberangkatan saya. Melihat grup Whatsapp yang ramai akan perbincangan
tim yang lebih dulu sampai di
Ambon, hati saya semakin tidak sabar untuk merasakan timur Indonesia. 'Ambon
yang masih kota saja dapat membuat mereka terpesona, apalagi Banda yang
kealamiannya masih terjaga,' begitu kata hati saya.
Namun, hati saya dibalik oleh Dia begitu cepatnya. Perpisahan
dengan orang tua di bandara membuat hati ciut seketika. Melihat tetesan air
mata beliau dan berkata, “perginya gak bisa ditunda, nak?” membuat hati saya
remuk tak berdaya. Kekhawatiran jelas terlihat di mata ibu saya. Memberi
kepercayaan pada anaknya untuk pergi dengan kaki yang semestinya dioperasi,
bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Sebagai subjek utama penyebab sedihnya
beliau, pilihan yang dapat saya lakukan hanya menahan air mata. Tak peduli betapa
sedihnya pun saya.
Menguatkan, meskipun butuh dikuatkan.
Batik Air ID 6168 mengantarkan saya ke Ambon. Bang Rudy,
salah seorang teman dari kakak tingkat, telah menunggu saya di Bandara
Pattimura Ambon. Dengan sigap, Bang Rudy langsung mengambil barang-barang
bawaan saya menuju mobil untuk segera berangkat menuju penginapan tempat
kelompok saya bermalam. Sepanjang perjalanan, lagu-lagu Barat lawas bermain di telinga saya.
“Bang, putar lagu-lagu Ambon dong,” pinta saya.
“Oh, Nindy ini suka lagu Ambon. Oke,” jawab Bang Rudy mengiyakan.
Dan melantunlah lagu dengan banyak kata yang saya tidak
mengerti. ‘Belajar dari hal sesederhana mungkin,’ begitu pikir saya.
Jarak antara bandara dengan penginapan kelompok saya cukup
jauh. Beruntungnya, pemandangan yang disuguhkan di sebelah kanan jendela
membuat saya tidak mengeluh. Beberapa kali saya menemui anjing menyeberang
jalan dengan leluasa. Kalau di Pulau Jawa, mungkin lebih mirip kucing yang dapat
berkeliaran sesukanya. Unik.
Ketika sampai di penginapan, saya langsung menuju kamar
tempat tim saya berkumpul. “Rapat terakhir sebelum ke Banda Neira,” kata Andika
selaku koordinator. Memasuki kamar, salah satu keadaan yang paling tidak saya
sukai pun terjadi. Tatapan-penuh-iba saya dapat dari rekan-rekan tim KKN yang
melihat kondisi kaki saya. Beruntungnya, kondisi itu tidak berlangsung lama.
Andika bisa membawa atmosfer rapat seperti sedia kala.
Kamar yang digunakan untuk rapat tadi ternyata menjadi kamar
saya dan kedua teman saya yang lain, Kenya dan Bella. Sepeninggalnya
teman-teman lain dari kamar ini, suasana kamar menjadi sangat hening. Kenya yang pendiam memilih untuk langsung memejamkan mata dan Bella yang sibuk memainkan gadgetnya. Saya? Yang mendadak
alim dengan kondisi seperti ini. Canggung.
Setidaknya, malam ini saya sangat bersyukur akan kasih Tuhan
yang diberikan kepada saya. Kepercayaan yang diberikan oleh orangtua saya harus
dijaga sekuat tenaga. Andaipun ada tetesan airmata nantinya, dipastikan itu
bukan karena sakitnya fisik yang saya derita. Mungkin karena letihnya memerani drama, atau tangis airmata karena bahagia.
Visi-misi harus senantiasa dijaga dalam benak saya. Kata abdi yang menjadi alasan utama saya dan teman-teman saya ke Banda harus direalisasikan sekuat tenaga. Harapan dapat berubah menjadi kenyataan kalau ada usaha maksimal dalam proses pencapaian. Dengan tekad yang sama, saya yakin kami bisa membuat Banda menjadi lebih bercahaya,
menjadi kejora di timur Indonesia.
menjadi kejora di timur Indonesia.
Di dekat Kenya dengan bantal lehernya,
dan Bella yang terlelap di ujung kasur sana,
seorang Nindy masih bertanya-tanya, cerita apa yang akan ditulis di Banda?
Ambon,
Minggu, 2 Juli 2017