Dia dan Percaya
Kekalahan mengajarkan dia untuk melepas mimpi-mimpinya. Perkara waktu, "biarlah," katanya. Lama atau cepat hanya sekadar konsep.
"Jangan biarkan harapan ada, agar kecewa tidak menyapa," begitu prinsipnya.
Tentang dia yang gemar bemimpi dan percaya janji. Kekuatan magis dari mimpi menjadi penyemangat dia dalam mendaki. Dialognya dengan sang pejanji cukup memberikan ketenangan di hati.
"Kecewa tidak akan ada kalau bersamanya," begitu pikirnya.
Ada wanita renta yang kecewa dengan kerutannya. Ada gadis kecil yang kecewa dengan luka di bonekanya. Ada dia yang menyalahkan keadaan guna menghindari rasa kecewa yang dideritanya.
Semua berjalan semestinya. Hal yang belum dia sadari bahwa ada keistimewaan dari tiap detik yang berjalan. Pemahaman baru ia dapatkan setelah duduk berdampingan dalam suatu perbincangan. Dialog yang tidak ada pemaksaan pribadi untuk menjadi seseorang yang dianggap benar.
Anggapan dan segala curiga lebur diantaranya. Sang pejanji dapat memberi bukti bahwa hanya dia yang di hati. Tidak ada curiga, karena kesetiaan menemani tiap langkahnya.
Dan dalam tahap pendewasaan, orang yang dianggap musuh baginya, kini hanya peran pembantu menuju klimaks dalam dramanya. Karakter-tambahan-yang-hanya-sedikit-berpengaruh-baginya. Bagi dia, sosok itu bukan lagi salah satu pejuang di tim musuh. Karena perang telah usai, dan kehidupan berjalan seperti apa yang hendak dicapai.
Kata sang pejanji,
"Memasak memang butuh bumbu, tapi kalau berlebih, akan merusak cita rasa masakan itu."
Tepat.
Karena,
"aku-percaya-kamu"
itu lebih dari cukup dan akan selalu.
Jumat, 29 Desember 2017,
Pukul 17.04 WIB
nindy soeraatmadja
0 comments:
Posting Komentar