Setitik cahaya di negeri pala
Antusiasme
tinggi kadang membuat manusia lupa posisi. Merasa pantas untuk terus meminta,
seakan memiliki berjuta pahala yang layak untuk ditukarkannya. Keikhlasan terus
menjadi alasan untuk sebuah pembenaran. Mengatakan rela berkorban, namun
mengumbar segala kebaikan.
Bolehkah?
Cinta datang
menjawab segala permasalahan. Berharap segala kebaikan dibalas oleh-Nya dalam
bentuk yang didambakan, merupakan sebuah kesia-siaan. Tak perlu menunggu sang
waktu untuk hal seperti itu. Cukup mengerti bahwa cinta adalah keyakinan bukan
pertukaran, maka ia dengan setia menemanimu entah sampai kapan. Dan satu lagi, ia
akan memberikan apa yang kamu dambakan,
meski kamu tidak
tahu kapan.
Banyak hal yang
dapat dilakukan untuk menikmati kesendirian, dan membaca merupakan salah satu
dari jawaban. Membaca tidak melulu harus bertemankan buku. Memperhatikan
perilaku orang di sekitar pun menjadi salah satu kegiatan dari membaca, seperti
yang saya lakukan kala itu.
Menunda kegiatan
di pulau seberang, Pulau Neira, membuat saya berkeinginan menjadikan dermaga di
negeri Lonthoir sebagai tempat melabuhkan kaki saya sementara. Sejenak
memisahkan diri dari kawan-kawan guna mencoba mengenal lebih dekat lagi rupa
budaya di negeri pala ini. Keramahan yang ditawarkan masyarakat di negeri ini
memiliki keunikan tersendiri. Budaya yang terus diwariskan orangtua pada
tiap-tiap turunannya.
Menuju dermaga,
saya bertemu dengan adik-adik kecil yang hendak berangkat mengaji. Sapaan ceria
sudah biasa mereka tawarkan pada kami mahasiswa KKN di negeri Lonthoir ini. Ajakan
dari mereka untuk bergabung membuat saya dengan mudah mengubah tempat tujuan
utama saya. Taman Pengajian Anak (TPA) dirasa tepat untuk mengisi kesendirian
di negeri yang keseluruhan penduduknya beragama Islam ini.
Ada dia, wanita
paruh baya yang memiliki hati mulia. Salha, nama sederhana pemberian dari kedua
orangtua yang berharap anaknya menjadi wanita saleha. Dan saya rasa tepat, Ibu Salha dapat menjadi salah satu
panutan masyarakat di sini dalam berakhlak. Tanpa pamrih, beliau menjadi
pengajar di TPA yang berlokasi di rumahnya pribadi. Dengan siswa di atas 40
orang, beliau mendidik siswanya agar bisa mengaji dengan benar. Sendiri. Tanpa
butuh kawan yang membantu, hanya bermodal ketulusan hati, beliau sanggup
menjalani.
Agama mengajarkankan
kita untuk berbagi. Apapun itu, saya rasa berbagi merupakan hal yang baik dalam
mencari ketenangan hati. Entah terkait rezeki, ataupun masalah yang harus kau
hadapi. Setidaknya, kau akan merasa ada yang masih peduli.
Mama Lah, biasa
dipanggil, merupakan orang yang terbuka. Kali pertama bertemu, tak segan beliau
berbagi cerita pada saya. Mulai dari hal yang umum, hingga cerita yang saya pun
merasa tak layak mendengarnya. Bukan mengiba untuk meminta, hanya berharap
didengarkan saja.
Wanita kuat nan tangguh.
Berkali-kali disakiti membuat beliau tak jenuh, terus meminta dan hanya
berharap pada-Nya merupakan pilihan terbaik menurutnya. Satu catatan untuk pembaca, tak
boleh terlalu merendah atas apa yang didapat di dunia. Cukup ingat bahwa massa
dari nikmatnya dunia tak lebih baik dari massa sebelah sayap nyamuk yang ada.
Apa yang tercatat sepenuhnya dibalas di akhirat, di dimensi lain karya Dia sang
maha.
Ketulusan Mama
Lah serta keberanian beliau dalam menjalankan hidup memberikan cerita
tersendiri bagi saya. Berkisah tentang apa, biar beliau yang langsung cerita.
Banyak pembelajaran yang beliau beri pada saya. Tak sekadar teori, namun
tentang kisah rumit yang berhasil dijalani. Silahkan ke Banda untuk bertanya pada
Mama Salha. Kekagumanmu akan tambah beribu-ribu kali padanya.
Kamis, 20 Juli
2017.
Hari ke-17 di Lonthoir (Andan Orsia),
nindy soeraatmadja