Narasi Awal Banda Neira
Merantau lah kamu, sehingga kamu paham betapa pentingnya rumah bagimu.
Hari ini, petualangan baru saya dimulai. Menambah tempat perantauan, coba membagi hal yang selama ini sudah didapatkan. Berharap jejak-jejak kebermanfaatan dapat saya tinggalkan di tempat pengabdian.
Banda Neira.
Tempat indah, penuh sejarah. Tempat dimana sajian alam dihidangkan tanpa perhitungan. Keindahan alam yang dipunya tiada tandingan. Di situ, di Banda Neira.
Bertemankan lagu Adhitya Shofyan di telinga, Home Away From Home menemani perjalanan kali ini.
Teringat wajah dia yang mengantar saya ke bandara. Tatapan sendu dari wanita yang juara membangun rindu. Sudah seminggu ini tatapan itu ada. Semakin kuat penampakan kata 'tak rela' di matanya. Pecah air mata saat musibah itu menimpa saya.
"Perginya gak bisa ditunda, nak?"
Restu orangtua memang nomor satu. Saya sangat merasakan itu. Penolakan ada, namun saya tak jera. Hingga akhirnya celakalah saya.
Restu yang datang dan diiringi tatapan 'kamu-pasti-pulang', membuat saya dapat tetap berangkat, meski tidak dalam kesehatan maksimal. Tetap bertahan karena mengingat satu tujuan, pengabdian.
Klasik bagi mereka kalau saya terus mengatakan kata abdi. Tapi begitu nyatanya. Bukankah harus menjadi bagian itu secara langsung kalau ingin melakukan perubahan?
Seperti presiden yang sibuk 'blusukan', mungkin.
Cara itu tepat. Kamu bisa memperbaiki, kalau kamu paham bagian mana yang bermasalah.
Meski saya tak mahir dalam bidang ekonomi, pun bidang-bidang lainnya, tapi saya yakin, ada kebermanfaatan yang dapat saya beri. Di situ, di Banda Neira.
Teruntuk dia, terima kasih atas restunya. Saya janji, kepercayaan yang diberi akan saya tepati. Jaga kesehatan demi keselamatan diri. Pulang membawa cerita tentang anak manja di Banda Neira.
Karena dia, si anak manja paham akan pentingnya rumah. Terima kasih, mamah. :)
Perjalanan menuju Ambon,
Batik Air ID 6168 (8D)
Minggu, 2 Juli 2017
nindy soeraatmadja