objek dunia

Kehidupan berjalan secara dinamis. Ujian silih berganti datang dengan tingkat kesulitan tersendiri. Berhasil kah? Atau harus kembali mempersiapkan diri? Terkait jawaban, tergantung siapa yang diuji.

Tingkat keimanan pun demikian. Naik-turun tergantung kondisi hati. Ikhlas dalam beribadah pada Illahi, atau sekadar pemenuhan kewajiban diri. Kembali, tergantung siapa pemilik hati.
Dalam proses memahami diri, berbagai pertanyaan dilontarkan oleh hati. Pembenaran terhadap diri sendiri akan banyak bermain di sini. Siapa dan untuk apa, akan lebih banyak mengintervensi kadar keimanan hati.

“Aku bukanlah aku” akan kalah dengan “aku tetaplah aku” jika pertanyaan tadi dijawab oleh si kerasnya hati.

Manusia terus berevolusi dalam memahami diri. Ada dia  yang dapat menjawab pertanyaan sendiri, namun juga ada dia yang harus didampingi. Berbeda dengan hewan yang tanpa berkomunikasi dapat hidup sesuai naluri. Manusia butuh rekan lain untuk menemani.
Ada dia si laba-laba, dengan metode yang sama membuat jaring tanpa harus ada pembimbing. Bergerak sesuai kodrat yang pasti, tanpa ada perubahan yang berarti.

Dia-mampu-hidup-sendiri.

Untuk seperti itu, manusia tidak bisa. Ia merupakan objek dari kedinamisan dunia. Harus memiliki benteng kuat untuk menahan kadar keimanan yang sudah dibentuknya. Harus ada yang menjaganya. Ketika benteng memang mulai rapuh, disitu peran manusia lain ada secara utuh. Mengingatkan. Mendampingi secara nyata, agar kembali dari simpangan yang ada.

Nyata adanya. Manusia tidak dapat hidup sendiri. Hidup sesuai naluri, belum tentu sesuai dengan yang Dia kehendaki. 

Namun, jangan jadikan kesendirian itu sebagai alasan kembali terjerembab dalam lubang kemunduran. Jadikah ibadah sebagai nutrisi hati yang berhak diterima diri sendiri. Ketika kamu menemukan kegelisahan, tampar wajahmu dengan pertanyaan, 

"Sudahkah dipenuhi hak-hak dirimu? Ibadahmu?"





Jakarta, 17 Juni 2017




nindy soeraatmadja






Share this:

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar