Amor Platonicus

Dia merenung dengan ucapanmu. Mengingat akan tibanya perpisahan yang berada di depan pintu. Berusaha menghalang hanya untuk menutup rindu, tapi tak tega dengan ia yang juga menunggumu di situ.

Menjadi drama ketika dia terus menangis membaca pesan darimu. Pesan yang sudah berkali-kali dibacanya, namun membutuhkan waktu lama untuk membalasnya. Pesan yang berisi permintaan maaf, sekaligus ucapan pisah yang tersirat.


Satu paragraf lengkap penghilang harap.


Dia memang berlebihan. Dia takut kembali merasa kehilangan. Padahal, kehilangan hanya untuk seseorang yang memiliki. Berdoa pada Dia si pemilik hati, bukan berarti hatimu langsung dia yang memiliki. Dia memang egois. 

Katamu, Dia maha membolak-balik hati. Kalimat itu yang dia yakini saat ini. Berusaha kuat untuk lepas dari takdir yang memanjanya, agar tidak terlalu sakit saat pisah menyapa. 

Katamu, jalan menuju dimensi indah itu sulit. Kalimat itu yang saat ini memotivasi. Perubahan yang ada bukan karena keberadaanmu yang mendukungnya, tapi karena banyaknya doa untuk dia.

Karena cinta dan Tuhan itu relatif. Tidak ada takaran khusus untuk menilai kesetiaan pada keduanya. Karena setiap orang wajib menguatkan agamanya, terlepas dengan siapa jodoh mereka. Terus berusaha memantaskan, walau tidak tahu kata pantas itu datang kapan.


Semua sudah kamu punya.


Banyak orang berharap kamu sapa. Tidak kah bersyukur, dia yang tanpa meminta dapat dengan bebas bertegur sapa?

Detik demi detik terus berganti. Kini dia yakin, akan ada saatnya takdir tidak lagi memanja. Ada orang lain yang dengan sabar terus memintanya. Bersenjata doa, takdir  pun dianulir oleh-Nya.


Entah dia dengan kamu,

atau

dia dengan kamu (lain) yang gemar mengucap namanya dalam doa.




Tangerang,27 Juni 2017

Pukul 23.29 WIB




nindy soeraatmadja,
hanya penulis cerita tentang 'dia'





Share this:

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar