Retorika Pancasila

1 Juni 1945. Di dalam bumi Indonesia, merasuk dalam tradisi kita, terdapat lima sila mutiara. Pancasila. 


Kala itu, Pancasila disepakati sebagai landasan utama dalam penyelenggaraan suatu negara. Dan pun, menjadi satu-satunya sumber hukum di Indonesia. Pancasila dianggap sebagai identitas bangsa yang mengerti arti merdeka. Lima sila mutiara diharap bukan sekadar retorika.

Ironis ketika pancasila tidak memiliki makna bagi mereka. Mereka yang ‘katanya’ berbangsa Indonesia. Pancasila hanya sekadar retorika, pidato-tanpa-makna. Sekadar patung garuda yang terpampang di ruang mereka. Atau puisi yang wajib dihafal saat upacara.  Implementasi dari nilai-nilai Pancasila tidak nampak di bumi dipijak.

Indonesia.

Berbagai alasan menjadi jawaban dari tumbangnya nilai Pancasila. Mereka yang ‘katanya’ berbangsa Indonesia masih meraba bagaimana seharusnya Pancasila. Bagaimana seharusnya membawa dasar negara sesuai dengan amanah pendirinya. Meraba, karena tak ada penjelasan lengkap dari  Pancasila.

Butir-butir Pancasila yang tidak memiliki penjelasan rinci berambiguitas tinggi. Pengimplentasian dari nilai-nilainya tergantung siapa yang menginterpretasi. Bahkan dapat dikatakan “sesuka hati”.

Dari dulu, Bangsa Indonesia terus menunggu arti pasti dari tiap butir Pancasila. Arti yang tidak perlu dipercaya, diyakini, bahkan dianggap sakral oleh mereka, namun harus dapat diterima mereka yang Bhinneka Tunggal Ika, agar kelak diamalkan dan dilaksanakan sebagai dasar penyelenggara suatu negara.

Dengan ditulisnya ini, saya berharap adanya Hari Lahir Pancasila tidak dimaknai sebagai hari libur bersama. Diharapkan adanya diskusi antar akademisi, politisi, agamawan, negarawan, dan yang lain, guna membahas penjelasan lengkap dari Pancasila dengan melepas ego dari masing-masing perunding. Hal itu diharap dapat meminimalisir pemaknaan ganda dari Pancasila. Kemufakatan yang didapat, dianggap dapat menjadi jawaban paling tepat. 

Karena sesungguhnya, meski para pendiri telah renta, demi kemakmuran negeri ini mereka terus berdoa. Meski para pendiri telah mati, jiwa mereka masih ada untuk tetap mengabdi.

Selamat memaknai Pancasila!





Mahasiswa Ekonomi Sebelas Maret,



Nindy Soeraatmadja






Share this:

,

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar