Lacrimosa pengingkar

Keadaan yang dibutuhkan oleh korban janji pengingkar adalah dengan hilang ingatan. Menjadi pelupa dengan apa yang diketahuinya, atau menjadi sosok anak kecil yang memiliki daya khayal tinggi. Berimajinasi, berharap janji suatu saat ditepati.

Kamu bertanya keinginannya padamu, dan dia bertanya letak kesalahannya padamu. Lalu diam menjadi jawaban paling tepat kala itu. Tidak ada yang layak disalahkan dalam perkara ini. Kamu-dia memiliki alasan tersendiri. Menjadi pengingkar janji atau pengharap khayal terealisasi. Beralasan dengan segala bentuk pembenaran dan menganggap diri memiliki sifat Tuhan. Maha Benar.

Kamu-dia sama saja. Memiliki ke-Aku-an yang tinggi. Gemar mendramatisasi keadaan seakan paling benar. Atau bahkan, paling menderita. Egosentris menjawab semua. Kamu-dia gemar berpura-pura.


Genangan air dirasa cukup untuk menamparmu. Bukan berarti kamu harus berkaca pada air keruh. Cukup amati siklus yang terjadi dan maknai. Ketulusan air dalam menjaga karya sang Pencipta, meski kadang menimbulkan bahagia dibalik derita. Air perlahan meninggalkan tempat dia menggenang. Menjadi awan, menguap meninggalkan Bumi. Untuk apa? Melihat kondisi Bumi menyeluruh dari jauh. Peduli tak harus selalu mendampingi.

Lantas, dengan perginya air dari Bumi, rapuhkah Bumi ditinggalnya?

Air kembali mengubah wujudnya saat tahu Bumi butuh. Menjadi hujan, membasahi Bumi dengan lembut. Tanpa pinta, air melindungi Bumi saat kering melanda. Rasa sakit saat jatuh ke tanah, biarlah. Tersenyumnya kembali Bumi karena terselamatkannya karya Dia yang ditampungnya, sudah menjadi obat  tersendiri bagi air.

Karena bahagia, tidak harus diri sendiri menjadi objek utama.


Beginilah cinta.

Tak perlu mengiba atau terucap janji yang dikhawatiri menjadi dusta.

Hanya sebuah kata,

namun memiliki daya yang dapat menguasai jiwa, bahkan raga si empunya. 




Surakarta, 26 Mei 2017



Nindy Soeraatmadja


Share this:

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar