di sekat serebrum
Tepat satu hari sebelum Dia memanggil, terdengar percakapan
yang mengetuk pintu hati seorang anak kecil. Percakapan antara dia yang kuat
dan dia si penderita. Membicarakan hari kelahiran anak mereka, tanpa peduli
kondisi si pembicara yang bahkan mengangkat tubuhnya saja tak bisa. Anak kecil
itu terus bersandiwara. Pura-pura memejamkan mata, seakan tidak tahu apa-apa.
Meski ia mendengar segala rencana yang memang selama ini diharapnya. Sebuah
pesta.
Ia terlelap dengan senyum. Imajinasi terkait percakapan tadi
menjadi pengantar dia bermimpi. Harapan dia segera menjadi nyata. Layaknya
putri di dongeng yang ada, pesta dengan gaun indah dan menerima banyak hadiah. “Sebulan
lagi,” begitu pikirnya.
Dia lupa. Atau terlalu naif? Entah. Indahnya dongeng tidak berlaku
di Bumi. Dongeng hanya angan bersifat candu pada anak kecil seperti itu.
Seperti penipu, memberi kebahagiaan palsu guna mencipta senyum semu.
Sang pemberi janji dipanggil oleh-Nya.
Begitu baik ia, hingga si Pencipta ingin segera bertemu.
Menginginkan dia untuk menjaga rumah-Nya dan menempati tempat yang tersedia.
Keegoisan yang ada merupakan hal yang wajar. Memonopoli ciptaan-Nya yang
memiliki ketulusan hati yang tinggi. Syarat mutlak agar lekas dirindui;
baik-hati.
Tak mungkin Dia lupa, bahwa akan ada makhluk Bumi yang meratapi
keegoisan-Nya. Menangisi kepergian dari orang yang mereka cinta, atau sekadar
memutar kembali kenangan yang ada. Tentu kenangan tersebut tanpa subjek yang
nyata, karena subjeknya telah berubah menjadi partikel pengisi kulit Bumi atau
dicerna oleh makhluk yang membutuhi. Simpulan paragraf ini, keegoisan berimplikasi
pada kehilangan.
Tidak terpikir lagi oleh anak kecil itu terkait pesta. Di
matanya saat itu hanya ada wanita yang sesekali menitikan air mata. Di saat
anak kecil tersebut dengan tangis kerasnya berkali-kali melontarkan pertanyaan
terkait statusnya yang resmi menjadi yatim, wanita itu tetap tenang dan hanya
sesekali menitikan air mata. Mungkin saat itu ia sedang berpura-pura kuat untuk
menularkan kekuatan guna menciptakan kekuatan yang lebih besar. Menularkan
kekuatan pada empat pendamping hidupnya, untuk membangun kekuatan bersama yang
lebih besar. Saling menguatkan, prinsipnya.
Kini, anak kecil itu sudah dewasa. Pembelajaran dari
keegoisan-Nya sudah dapat ia mengerti tanpa lagi menyalahi. Dan akhirnya ia
sadar, setiap kejadian merupakan pembelajaran. Cara agar lulus dari tiap ujian,
cukup rutin berkonsultasi pada-Nya. Sesederhana itu.
Ada dampak lain selain status yang ia sandang akibat
kejadian itu. Karakter yang terbentuk, salah satunya. Ia menjadi pribadi yang
sulit terbuka pada sesama. Mencari sosok yang dapat di-ayah-kan sebagai tempat cerita dan tumpahnya air mata.
Menjadi makhluk Bumi yang keras dan benci dengan segala macam bentuk pengibaan.
Dan parahnya, dia kini hidup dengan segala macam bentuk pencitraan.
Kepura-puraan tertanam demi menghindari segala macam bentuk pengibaan. Dia
malas berbincang. Segala bentuk klarifikasi hanya dapat tersalur melalui
tulisan. Hal tersebut yang menjadi pemancing akan munculnya berbagai penilaian.
Dampaknya? Menjadi tunarungu adalah pilihan.
Wanita penular kekuatan tadi kini membutuhkan kekuatan.
Hilang sudah bentuk kepura-puraan yang dimilikinya. Pengharapan untuk selalu
ada ia ucapkan pada keempat pendampingnya. Dengan senyum tanpa memaksa, ia
lontarkan keinginannya lagi.
“Tolong jaga, mamah.”
Itu bukan permintaan, namun sebuah kewajiban yang diingatkan.
Tersentil hati para pendamping. Mengingat kembali apa yang telah dilakukannya,
hingga mereka memiliki kekuatan kini. Berdiri tanpa ada tangan yang senantiasa
menjaga tubuh dari terjatuh. Berbicara tanpa ada bibir yang mempraktikan bentuk
dari tiap kata yang diucap. Itu semua kekuatan yang ditularkan-nya, oleh dia yang
saat ini sedang meminta.
Akhirnya,kembali ia tersadar. Jauhnya langkah yang ia pijak,
banyaknya bahagia yang ia rasa, panjangnya umur yang ia dapat, merupakan doa wanita
kuat yang terjawab. Tujuan dari doa-doa yang terhimpun, tak bukan agar anak
yang beranjak dewasa tadi tahu akan balas budi. Mengerti kapan harus kembali,
dan menularkan kekuatan yang ia miliki.
“Cause I know that you’re the strongest woman,
and the warmest
place, mah.”
Jakarta, 20 Mei 2017, pukul 23.38
Nindy Soeraatmadja
0 comments:
Posting Komentar