Intuisi Matahari

Catatan ini saya tulis menuju senja.

Menuju waktu dimana sang penyinar utama  tenggelam.

Tanpa kata, tanpa sapa.



Kamu pernah membayangkan perasaan bulan yang bertemankan banyak bintang, namun dengan lugunya tetap menanti pertemuan dengan matahari? Dia bisa bersinar sendiri. Dia bisa akrab dengan bintang-bintang yang mengelilingi. Pun bulan bisa menjadi satu-satunya penyinar di malam hari. Dia kuat. Dia mandiri. Tapi, ada satu hal yang bulan tidak dapat lakukan, membohongi hati.

Mengejar cita-cita bagi saya merupakan kewajiban utama selain lima rukun lain yang wajib dipenuhi. Katanya, usaha setimpal dengan apa yang didapatkan. Tidak heran, begitu banyak manusia terlalu mendamba kesuksesan, hingga lupa variabel lain pelengkap kebahagiaan. Mungkin salah satunya saya, atau kamu. Sebut saja kita. Kadang kita terlupa untuk memikirkan perasaan satu sama lain. Intuisi kita sudah berkata ‘tidak’, tapi demi kata sukses tadi, kata acuh menjadi pilihan. Kita lupa dengan ‘perasaan’.

Menyesal bukan jawaban, saat kita merasa lupa akan variabel lain pelengkap kebahagiaan. Diawali dengan komitmen kuat untuk berubah, dan besarnya hati untuk mengucapkan kata maaf. Entah pada orang yang kita rasa tersakiti, atau bahkan diri sendiri yang sudah kita bohongi. Tidak heran kalau pada akhirnya, kita terus berusaha mencari pembenaran untuk diri sendiri. Kerasnya hati dan jiwa yang belum bisa berdamai dengan diri sendiri, biasanya memaksa kita untuk tetap berlaku bahwa semua baik-baik saja. Yang penting cita-cita, perkara lain? Entah. Biar saja.

Manusia pandai bermelankoli. Bersandiwara menjadi makhluk paling menderita. Semua dianggap bernasib lebih baik darinya. Dia lupa bahwa semua merupakan hasil dari keegoisan yang ia cipta. Saat mulai kehilangan rasa, upaya membenarkan diri  makin lama terlupa. Dia tidak sehebat yang dikira. Dia lemah.


Titik bifurkasi tercipta.


Semua kenyamanan yang pernah terasa, bagaikan mengkristal di satu momen saja. Membuat rindu berirama sendu. Kita sudah tidak baik-baik saja. Tenggelam pada satu momen, berharap variabel pelengkap kebahagiaan kembali melengkapi. Ya, detik ini teori cita-cita mu hilang seketika. Egosentris berlaku. Ada harap yang dibumbungkan ke langit. Tanpa jatuh. Agar tidak kembali terasa sakit.

‘Tidak perlu cemburu dengan keindahan bangau, kamu memiliki keistimewaan sendiri saat menjadi seekor gagak.’ Ketika orang menganggap kita kalah, nyatanya kita dapat menggoreskan kemenangan sendiri dalam hidup kita. Tidak perlu menjadi, kalau kita harus menyakiti

Mungkin ini sesuai dengan matahari. Dia, yang meninggalkan bulan begitu saja, mencipta senja demi garis ungu di ufuk sana. Bulan setia menikmati waktu yang ada. Memaknai intipati keindahan saat mereka saling sapa. Gerhana namanya. Dan hal tersebut merupakan variabel pelengkap kebahagiaan bulan.



Sesederhana itu.





Surakarta, pukul 17.41 WIB




Nindy Soeraatmadja


Share this:

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar