Kopi-mu kurang hitam

12 Januari 2017,

Sudah muak saya adu argumen soal aksi bela rakyat. Perang data hingga rasa, semua merasa benar akan sikap yang dipilihnya. Mungkin hal penting yang terlupa ialah setiap orang punya idealisme masing-masing. Seakurat apapun data yang diberi, tetap keputusan yang diambil mengikuti hati. Hal itu manusiawi, karena orang akan mempercayai apa yang ingin dipercayainya. Catat: hanya-yang-ingin.

Sebuah perjuangan pasti terintegrasi dengan kekerasan, entah fisik maupun mental. Mungkin itu yang dirasa oleh pejuang jalanan. Ketika aman dari siksa fisik, mental diuji dengan berbagai diksi yang keji.  Tidak ada yang salah dengan banyaknya perbedaan pendapat. Beda kepala, beda suara. Hal itu biasa. Namun, hal itu bukan berarti membuat individu menjadi soliter. Sebaliknya, perbedaan harusnya dapat menimbulkan sikap solider. Saling toleransi dan penuh rasa empati.

Tulisan kali ini saya tidak ingin memperdebatkan soal benar-salah nya aksi. Bukan karena saya masuk dalam barikade mahasiswa tersebut, tapi karena saya ingin memberikan gambaran lain terkait aksi terakhir yang saya ikuti. Perkara pro-kontra aksi, silahkan kalian tafsirkan sendiri. Bukan itu tujuan saya menulis di sini.

Perlawanan dalam bentuk kebersamaan. Itu yang saya rasakan tiap turun ke jalan. Perasaan saya kala itu sama dengan perasaan disaat saya mengikuti aksi-aksi lain. Tidak ada bedanya. Dikelilingi manusia dengan ambisi mengabdi dan amarah yang menggebu di hati. Suasana hati yang sama dengan saya kala itu.


Namun, ada hal berbeda yang akhirnya saya temukan. Panggilan Tuhan tidak mereka lupakan saat turun ke jalan. Haru? Jelas. Cukup terkejut ketika di tengah aksi, sang orator berhenti dan mengumandangkan adzan. Kali pertama aksi seperti ini saya rasakan. Sungguh.


Pembelajaran pertama terkait ingat-Dia-si-Pencipta sudah saya dapat. Pembelajaran kedua terkait pengontrolan rasa cemas  dan pemberian rasa percaya pun ada di sini. Membiarkan orang yang saya sayang menantang barisan kepolisian, memberikan pembelajaran tersendiri bagi saya. Beri mereka kepercayaan, maka kekuatan akan timbul dengan sendirinya.

Ya, rasa percaya itu ada.

Detik-detik mereka mengoleskan pasta gigi di wajahnya guna menghindari panas dari gas air mata pun tiba. Mata saya sudah tidak menunjukkan kekhawatiran akan nasib mereka. Sukses. Saya berhasil mengontrol rasa cemas saya.


Pembelajaran ketiga terkait kepatuhan. Terlepas dari jam malam yang akhirnya saya langgar, ada hal lain terkait kepatuhan yang saya pelajari di sini. Kemampuan menahan diri untuk unjuk gigi. Patuhi koordinator utama, jangan lakukan apa yang dia larang. Setiap orang sudah menjadi bintang, untuk apa berusaha menjadi bintang lagi? Perilaku ingin bersinar sendiri harus dihindari dalam aksi, guna menjauhkan kita pada tuduhan provokasi.


Pembelajaran demi pembelajaran saya dapatkan dalam aksi kali ini. Meski sebenarnya pembelajaran terkait “tuli” merupakan hal utama bagi saya, tapi perkara itu, saya kira dibahas lain waktu pun bisa. Bukan ranah saya dalam memberikan argumen-argumen terkait alasan saya turun di sini. Kalau sumbu-mu masih pendek ketika membaca ini, mungkin kopi-mu kurang hitam.


Selamat mendewasakan pikiran.




Tangerang, 16 Januari 2017, Pukul 23.15

Bukan sekadar mahasiswa peng-hamba IPK,


Nindy Soeraatmadja


Share this:

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar