Sore tadi, kembali ada air mata yang saya lihat. Kali ini bukan air mata yang mengalir di pipi saya, melainkan air mata tulus yang keluar dari mata salah satu rekan Badan Pengurus Harian. Menjelang akhir periode, makin nampak rasa ikhlas kawan-kawan saya terhadap organisasi tercinta. Begitu banyak rasa takut melepaskan organisasi ini, karena sadar akan banyaknya rindu yang segera menyapa.
Begitu pun saya. Detik-detik yang membuat saya berada di posisi tengah antara lega dan kecewa mulai muncul. Rasa khawatir akan rindu, namun juga senang untuk menyegerakan sisa waktu atas kewajiban ‘itu’. Teringat kala itu, 28 Maret 2016, saya dan rekan-rekan dilantik untuk mengemban amanah selama setahun ke depan untuk mengabdi. Terdengar seperti pahlawan, namun pengabdian kami bukanlah hal yang layak untuk dibanggakan, karena hal tersebut memang merupakan kewajiban.
Rasa bahagia terbesar saat itu adalah saat-saat dimana saya akhirnya resmi memiliki adik. Entah, walaupun mereka hanya adik tingkat tanpa ikatan keluarga, setidaknya dengan adanya mereka, saya bahagia. Mereka mendukung saya untuk menjadi lebih dewasa. Proses-ingin-menjadi sangat terbantu dengan adanya mereka. Di depan mereka, saya harus dan bisa menjadi wanita kuat tanpa air mata, seperti yang idola saya contohkan pada saya. Saya tidak bisa sepenuhnya menjadi sosok bijak nan dewasa depan mereka, itulah mengapa mereka sering bersikap layaknya kawan seangkatan pada saya. Hidup bukan soal pencitraan. Tidak sedikit yang mengingatkan saya untuk merubah sikap menjadi lebih dewasa. Namun dengan adanya saya yang seperti ini, justru saya menganggap bahwa ini sarana terbaik untuk lebih dekat dengan adik-adik saya. Untuk menghilangkan kecanggungan mereka, apabila mereka ingin bercerita.
Banyak cerita yang bisa saya himpun bersama mereka. Canda tawa, bahkan air mata pun ada saat kita bersama. Kenyamanan yang dirasa membuat saya takut berpisah dengan mereka. Namun, tanda tanya akan keberlanjutan mereka, memberikan rasa takut tersendiri bagi saya. “Cintai bendera, bukan orang-orang di bawah bendera.” Tak peduli siapa pemimpin ataupun pengisinya, tetaplah ada untuk memberi kemajuan pada bendera itu. Pengharapan penuh pada mereka adik-adik saya, untuk melanjutkan jejak kurang nampak yang saya cipta. Iya, sepeninggalnya saya, saya harap mereka tetap ada.
Saat tangan terluka, mata pun ikut merasa dengan keluarnya air mata. Mungkin itu yang saya rasa saat ini. Khawatir akan keberlangsungan dari organisasi yang (terus-terang) saya cinta. Ikut memikirkan, di kala purna menanti sisa jabatan. Dan terus menanti kepastian, siapa gerangan kawan yang hendak melanjutkan perjalanan.
Teruntuk adik-adikku,
Nampak kecenderungan akan sikap egois yang saya munculkan dalam tulisan ini. Namun, ini bukan berarti saya tidak menghargai apapun keputusan kalian, kelak. Ketika kapal yang kamu tumpangi sudah berlabuh di tujuan, bukan berarti kamu tidak bisa pergi lagi. Berlabuhnya kapal, bukan berarti kita harus melanjutkan perjalanan ke tempat awal dan kembali lagi ke tempat kapal pernah bersandar. Mungkin ada kapal lain yang menanti untuk dinaiki dan hendak membawa kita ke tempat penuh cerita bermakna. Purna-nya kalian, purna-nya kita, mengartikan bahwa berhentinya perjalanan, sekadar untuk mengistirahatkan badan. Kembali mengarungi laut , dan menentukan tujuan baru untuk disinggahi.
Mbak Nindy- nya kalian, akan setia menunggu segala cerita baru yang kalian punyai.
Asal,
“Chat-nya yang banyak yah. Biar gak tenggelem.”
Surakarta, 14 November 2016. Pukul 23.27
Nindy Soeraatmadja
Aaaa sedih bacanyaaa :')
BalasHapus