Elegi Soal Rasa
Drama yang terjadi malam ini,
antara kamu, saya, dan rasa yang entah kapan mulai tercipta. Andai tanda tanya
itu tidak pernah muncul, mungkin kata pisah tidak akan pernah timbul. Pergerakan
mahasiswa menjadi pengenal antara kamu dan saya. Pun sebaliknya, pergerakan
mahasiswa pula yang menjadi pemisah antara kamu dan saya. Profesionalitas selalu
menjadi topik utama oleh saraf-saraf otak saya kala kita bertemu. Mungkin, mereka
ingat apa yang kamu ucap.
“Tak ada sapa saat berjumpa.
Hanya ingin menjaga keprofesionalitasan diantara kita.”
Kalau memang itu alasannya,
kenapa malam ini kamu berubah? Pertanyaan berujung perpisahan. Saya bukan
pecundang yang takut memberi jawaban hanya karena satu alasan. Pun keputusan
mengakhiri persahabatan yang saya keluarkan, hanya untuk mengingatkan kita lagi
akan pentingnya sebuah keprofesionalan. Bukan penyesalan yang melatarbelakangi
tulisan ini ada, namun rasa sedih dan kecewa saat mengingat hanya saya yang
berusaha. Menjaga hubungan tetap ada, menghilangkan rasa panik yang kerap
melanda saat kamu tiada.
Hilangmu, kamu sebut soal rasa. Dia
menciptakan rasa agar kita dapat bahagia. Namun bagaimana kalau karya yang Dia
cipta, justru mengharap rasa itu tidak pernah ada? Penentangan akan dilakukan
dengan berbagai cara untuk menghilangkan rasa. Misal, menghindari dia si objek
pencipta rasa. Lalu? Elegi siap mengiringi duka yang hendak tercipta.
Sudah cukup nampaknya usaha saya
dalam menjaga persahabatan. Kalau memang perpisahan harus ada, saya
akan tetap menganggap kamu sebagai sahabat saya. Apapun itu, saya selalu
berharap akan adanya sapa dengan bahasa saat belum ada rasa.
Surat ini untuk kamu, sahabat
angkat saya.
Surakarta, 16 November 2016.
Pukul 01.17
Nindy Soeraatmadja