Eksistensi Harga Mati
Kamu itu bukan siapa – siapa.
Bahkan masih jauh dari kata debu apabila dibandingkan dengan Dia si Maha Hebat
itu. Lantas apa yang bisa kamu banggakan? Merasa lebih baik, namun sejatinya
jauh dari kata terbaik. Maklumi saja dia yang kamu anggap apa adanya. Perkara
ikhlas pikir belakangan, menyelesaikan kewajiban bukti bahwa kamu seorang
budiman.
Membuat kebijakan di kala kamu
seorang bawahan ialah suatu kebanggaan. Se-ha-rus-nya. Tapi nyatanya? Semakin
banyak keluhan yang harus kamu pendam sendirian. Tidak setiap orang memiliki
motivasi untuk berkembang. Dan tidak setiap orang berusaha untuk memantaskan.
Kamu sudah tau itu, lantas mengapa masih menuntut agar dia melakukan perubahan?
Maklumi saja, terima dia apa adanya. Tapi bukankah segala bentuk pemakluman
akan ketidaksempurnaan manusia tidak boleh menjadi alasan agar dia terlepas
dari upaya pemantasan?
Sejatinya pemimpin ialah seorang
pemimpi yang dapat membawa dampak positif bagi lingkungannya, bukan sekadar
pemimpi yang terlena akan jabatannya sebagai pemimpin. Jabatan yang dimiliki
seharusnya menjadi motivasi memperbaiki diri, bukan sekadar peningkat eksistensi. Keluhan yang kamu rasa dan
tuntutan yang kamu damba menjadi layak ketika eksistensi menjadi satu-satunya
alasan apabila berbicara jabatan. Namun dampaknya? Hidup-kamu-penuh-keluhan dan
akan menjadi sebuah kesia-siaan ketika karya yang semestinya kamu cipta
terhambat akibat keluhan-keluhan yang tidak semestinya ada. Pengaktualisasian
nilai ikhlas bukanlah hal yang tabu. Tidak ada salahnya ketika mencoba ikhlas menjadi
satu-satunya pilihan.
Ah sudahlah, mungkin kamu butuh
bercanda.
“Hidup itu harus bercanda, kalau serius kamu mati.”
Mungkin ini dampak dari dia bercanda melulu. Terima saja.
Surakarta, 27
Oktober 2016,
00.31 Pagi.
Nindy Soeraatmadja