Nasib Tani di bawah Tirani (?)
Ada hari peringatan khusus untuk sosok yang dianggap
pahlawan. Sosok yang berperan dalam ketersediaan pangan, tapi nasibnya
termarginalkan. Sosok yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara agraris,
tapi menjadi korban para kapitalis.
Tani, sosok yang sering menjadi korban eksploitasi.
24 September Hari Tani Nasional, katanya. Hari dimana
dibuatnya suatu kebijakan mengenai hak dan kewajiban kaum tani. UUPA,
Undang-Undang Pokok Agraria, dianggap sebagai simbol bahwa petani memiliki
peran penting sebagai entitas bangsa Indonesia. UUPA merupakan alat untuk
melenyapkan undang-undang pertanahan yang dianggap kolonial dan feodal. Iya,
UUPA diharapkan dapat melindungi mereka, kaum yang seharusnya tidak terkena
dampak alienasi.
Melindungi?
Kenyataan terbalik atas apa yang diharapkan. Konflik agraria
terjadi dimana-mana. Perampasan tanah milik petani semakin marak dilakukan oleh kaum tirani.
Catatan akhir tahun 2015 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa
konflik agraria pada tahun 2004-2015 berjumlah 1.772 konflik dan melibatkan
1.085.817 keluarga sebagai korban. Reforma Agraria(RA) yang diusung sang penguasa
justru mempermudah jalur monopoli.
Keberpihakan pemerintah terhadap korporasi berbadan hukum membuat nasib petani
semakin miris. Ketidakmampuan pemerintah dalam menyerap makna dari UU Nomor
5 Tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria membuat negara seakan memonopoli lahan milik rakyat. Mereka
seakan lupa, bahwa negara hanya menguasai tanah sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat, bukan untuk penjajah yang mengatasnamakan ‘segelintir’
rakyat.
Kembali
bercerita mengenai RA yang merupakan program strategis dalam penyelesaian
berbagai macam konflik lahan. Legalisasi aset guna memperluas pasar tanah dan
kredit perbankan merupakan ladang untuk korporasi kembali memonopoli. Program hasil turunan dari skema Bank Dunia ini
(Land Administation Project), dalam jangaka panjang, memberikan peluang untuk merampas tanah para petani
melalui jalur sertifikatisasi. RA yang seharusnya memperkecil tingkat
ketimpangan kepemilikan tanah akibat maraknya monopoli, justru mempermudah praktik jual-beli. Hal tersebut yang akan menambah eksistensi monopoli. Hak
petani akan kepemilikan tanah akan semakin terjarah.
Selain itu, program
Reforma Agraria ini juga tidak memiliki kontrol atas sarana produksi dan harga
produk hasil cipta tani. Pemerintah memberi kebebasan bagi perusahaan besar asing
untuk mengatur hal tersebut. Dan hal ini akan semakin parah ketika pemerintah
juga tidak dapat menjamin soal upah. Perbaikan ekonomi dari pahlawan pangan ini
semakin jauh dari angan.
Hari Tani
Nasional diharapkan dapat menjadi sarana pengingat kaum elit akan kesejahteraan petani. Cukup
dengan menghentikan segala macam bentuk perampasan tanah maupun praktik monopoli demi
pengembangan investasi. Selain itu, adanya
peran pemerintah terhadap harga produk cipta tani guna memperbaiki kondisi
ekonomi para petani. Ya, kesejahteraan Kaum Tani harus diutamakan tanpa peduli ketamakan
Tirani.
Hidup kelas tani kecil dan buruh tani yang melawan!
Panjang umur perjuangan!
Ditulis oleh:
Nindy Soeraatmadja
Wakil Menteri Luar Negeri BEM FEB UNS 2016