Antagonisnya Waktu
Salah satu kelemahan manusia adalah
ketidakmampuannya dalam mengendalikan waktu. Elemen penting yang dianggap abstrak, namun
tetap dihargai eksistensinya karena dianggap sebagai konstruksi hukum dari
kehidupan. Sepandai- pandainya manusia, mereka hanya bisa menjadi penikmat
kenangan tanpa bisa mengulang waktu yang
telah dijalankan. Sekalipun itu perkara kebahagiaan, waktu tetap tidak bisa diulang.
Yang manusia bisa lakukan hanyalah memandang segala macam kenangan hingga larut
dalam suatu kenikmatan.
Adanya waktu, mungkin diciptakan
agar manusia mengerti akan pembeda kesementaraan dan keabadian. Tidak ada yang
abadi kalau berbicara perihal duniawi. Semua sementara. Tinggal waktu yang
asyik bermain menipu mereka. Menenggelamkan mereka dalam setiap drama yang diciptakan oleh
Pembuat Karya. Tidak peduli suka maupun nestapa, waktu dengan riangnya
mengendalikan mereka.
Lalu, mereka terjebak dalam
berbagai keadaan yang kelak menimbulkan kenangan.
Sebagai manusia, mereka hanya bisa
merencakan dan memohon agar semua berjalan sesuai yang diharapkan. Akan ada
banyak tanda tanya selama proses tersebut berjalan. Apakah akan berkelanjutan
hingga terhentinya masa kesementaraan ini, atau waktu dengan singkatnya memotong
proses tersebut dan menggantikan hal lain sampai masa kesementaraan ini usai.
Adalah persahabatan salah satunya
yang ditakutkan oleh dia si gadis manja. Suka-duka semua ada dalam perkara hal
ini. Canda tawa yang kerap ada, membuat dia mudah terjebak dalam segala
kenikmatan yang dirasa oleh panca indera.
Dia kira kesementaraan ini akan terus berjalan sampai keabadian menjemputnya.
Ternyata tidak.
Basi. Perkara cinta dianggap wajar bagi
makhluk yang ‘katanya’ berhati. Segala bentuk pemakluman diberi toleransi kalau
menyangkut asmara. Termasuk rusaknya persahabatan itu sendiri.
Atau, itu hanya alasan yang dibuat-
buat untuk menutupi alasan sebenarnya? Perubahan yang dilakukan si gadis manja
menimbulkan ketidaknyamanan dalam kelompoknya. Proses ‘ingin menjadi’, membuat
ia merasa dijauhi. Iya, realita yang ada memang ia dijauhi. Bukan sekadar
praduga asal karena sensitifnya perasaan yang ia miliki. Dia, si gadis manja
tadi, kini memilih menyalahkan waktu. “Seandainya tidak pernah ada kesempatan
mengukir kenangan, tidak akan ada hal sepele menjadi beban pikiran,” begitu
pikirnya.
Waktu angkat tangan. Mencoba cari
aman agar tidak disalahkan, ia memberi setumpuk album kenangan pada si gadis
manja. “Biar. Biar sejenak gadis manja ini terlarut dalam fana nya kebahagiaan
yang telah lampau,” katanya.
Waktu seolah merupakan sosok
antagonis yang menjadi salah satu faktor kesengsaraan. Tidak bertanggung jawab
akan munculnya kenangan indah temporer yang ia cipta. Hanya meninggalkan
kenangan indah yang tidak bisa terulang.
Salah.
Di sini perannya waktu. Kenangan
yang ia berikan merupakan pemacu agar adanya perbaikan. Merugilah mereka yang
tidak berani keluar dari zona nyaman. Stagnan dalam keyakinan yang itu- itu
saja, tanpa berusaha mencari hal baru agar lebih mengenal-Nya.
Waktu mengajarkan manusia bahwa
makin jauh kilometer kehidupan yang ditempuh, makin kecil lingkup pergaulan
yang dimiliki. Akan ada mereka insan tulus yang menemani, atau manusia baru
yang hadir guna bantu memperbaiki. Tinggal
bagaimana para manusia kuat menjalani.
Terjawab. Gadis manja tadi sudah
mendapat pembelajaran dari sang waktu. Ikhlas merupakan sikap paling tepat. Bagaimanapun,
ia percaya Tuhan mengutus waktu untuk memberi pelajaran yang terbaik
baginya. Persahabatan bukan hanya soal suka-duka dalam menjalani kesementaraan
ini, namun juga kesiapan bagi mereka dalam menerima perubahan hingga keabadian
datang.
“Biar. Biar waktu yang
mengendalikanku,” ujar si gadis manja.
Jakarta, 3 Agutus 2016
Pukul 20.16 WIB
Nindy Soeraatmadja
0 comments:
Posting Komentar