Zona Hijrah Bukan Delusi
Menepi mencari sepi, berharap dapat menemui diri yang dicuri ego sendiri.
Namun pada akhirnya, semua hanya dianggap delusi. -Nindysoe-
Mengevaluasi diri sendiri
memang sulit. Mengetahui kelemahan yang
ada, namun jiwa memberontak dan berkata sudah sempurna. Berubah
itu tidak mudah. Butuh energi khusus untuk mampu menembus dimensi yang kita
tuju. Perkara tantangan yang ada selama proses perubahan tadi, anggap saja
sebagai pijakan yang memang sengaja dibuat. Permasalahan yang ada tinggal
bagaimana nantinya bersikap.
Lain orang, lain pikiran. Pembeda dari cara bersikap
seseorang adalah hati nurani. Keteguhan untuk menjadi sosok yang lebih baik merupakan
tumpuan utama selama proses ‘ingin menjadi’. Dan apabila respon negatif datang
menghampiri, senjata yang tersisa hanya kuatnya mental itu sendiri.
Hijrah, kemampuan berpindah untuk belajar mencari
keseimbangan antara akhirat dan duniawi. Terdengar sangat sederhana, namun
teramat berat untuk dipraktikan. Beradaptasi untuk membenahi diri, sejauh mana sikap
dan pikiran yang dikehendaki telah dijalankan
demi terciptanya perubahan baik itu sendiri.
Kuatnya mental akan teruji ketika seseorang tidak stagnan dalam mencari, serta
bangkit ketika ejekan menghampiri. Iya, sabar menerima tanpa ada keluh yang
tercipta.
Butuh katalisator bagi seseorang untuk ber-hijrah. Keluar
dari zona nyaman bukan merupakan hal yang mudah. Alasan apapun dapat menjadi
pemacu seseorang untuk berubah dan mencoba mencari tempat cerita sebagai wadah.
Wadah yang mampu menopang dirinya selama ber-hijrah.
Kekhawatiran akan nasib orangtua, suami, dan anak
nya lah yang membuat dia berusaha memperbaiki diri. Merasa sebagai anak yang
tidak mampu menjadi amalan baik bagi orangtua, membuat dirinya cemas dan
berulang kali berpikir akan cara untuk menyumbang pahala bagi kedua
orangtuanya. Selain itu, sosoknya yang minim akan pengetahuan agama membuat dia
khawatir akan teman hidupnya. Berusaha memantaskan, namun entah sampai kapan
kata pantas itu akan tersemat. Selalu tersenyum saat melihat anak kecil memakai
hijab, membuat dirinya takut merasa malu apabila keturunannya yang lugu
bertanya tentang agama dan ia tidak mampu menjawab. Sekilas, alasannya berhijrah memang cenderung duniawi. Berusaha memperbaiki hanya untuk mengejar ketenangan selama di dunia. Agar terlepas dari rasa takut, katanya.
Iya, dia takut. Gadis manja yang ingin sekali disebut
dewasa itu merasa takut. Takut akan ketidak bermanfaatannya bagi orangtua. Takut
akan ketidak pantasannya bagi pendamping hidup. Dan takut akan ketidak
mampuannya dalam mendidik agama bagi anaknya.
Dan benar, adakalanya respon negatif
menghampiri. Kuatnya mental dari gadis manja tadi sedang diuji. Sikap orang-
orang terdekatnya yang cenderung meremehkan, membuat dia harus mengeluarkan satu
amunisinya lagi, ketangguhan. Sejauh mana kombinasi tangguh dan sabar yang ia miliki dalam menghadapi tantangan, merupakan kunci utama menaklukan kehidupan.
berhenti.
Saya rasa cukup
sampai disitu kita mengetahui pertarungan gadis manja tadi dalam menjalani
kehidupan. Seberapa kuat energinya dalam bertarung, biar menjadi rahasia waktu
dan Tuhan. Pengambilan contoh gadis manja tadi hanya sebagai pembelajaran bagi
kita untuk menjadi sosok yang lebih baik lagi dalam kehidupan.
Terkait soal jodoh tadi, ada pemikiran yang saya
pelajari dari si gadis manja. Jodoh itu bukan dicari, melainkan dibentuk. Berusaha
untuk memantaskan, bukan mencari sosok yang dianggap pantas. Karena katanya,
jodoh merupakan cerminan diri sendiri.
Terakhir, teringat ucapan dari salah seorang kakak
tingkat di kampus. Kita adalah apa yang kita pikir. Artinya, kita
dituntun, diarahkan, digerakan dari apa yang kita pikir, karena dari situlah
kita bisa menciptakan perubahan yang kita inginkan
Jadi, selamat menjadi pemenang atas terciptanya perubahan yang kamu pikirkan. :)
Tangerang, 03 Juli 2016
Pukul 01.38 pagi.
Rahma Nindita Zuhara Soeraatmadja
0 comments:
Posting Komentar