Romantisme Masa Kecil

"bersyukur itu gak cuma ucap alhamdulillah, tapi terima apa adanya dan pasrah,"

begitu kata salah satu teman saya. dalam banyak kejadian, kalimat tersebut memegang andil yang cukup tinggi dalam pengontrolan emosi saya dalam berlisan. terlalu sering mengeluh, membuat saya harus memiliki kunci pengingat, dan salah satunya adalah kalimat tersebut.


kepindahan sementara saya di Surakarta sebagai salah satu alasan mengapa saya sering mengeluh. rasa rindu akan kebersamaan dengan keluarga adalah faktor utama nya. sulit sekali rasanya menghindari rasa iri ketika sahabat berkata, "maaf yah gak bisa ikut rapat, lagi pulang ini." kesal? ya tentu. tapi entah karena apa, saya juga kurang tahu. yang saya takutkan, rasa kesal ini berasal dari rasa iri saya karena tidak bisa seperti mereka yang bisa pulang ke daerah asalnya sesuka hati.

saya ingin bertemu mamah saya. sangat ingin, bahkan. kadang saya menangis, hanya karena rindu mendengar panggilan mamah saya sekadar untuk duduk bersama di meja makan. setiap duduk bersama, saya yang terkesan pasif, hanya mendengarkan berbagai cerita dan petuah dari mamah saya untuk kehidupan saya. teringat kata salah satu teman, "kalo sama Nindy, aku bingung harus gimana. mungkin dia yang emang suka nyimpen perasaannya sendiri, dan susah buat cerita sama orang lain. bahkan waktu itu, dia duduk sendiri di Kijing Miring sambil nangis." dan itu mungkin kunci utama nya. bahkan, sama ibu kandung saya sendiri pun, saya tertutup. apalagi dengan mereka yang entah saya masih belum paham bagaimana karakternya.

saya rindu Nindy yang dulu, yang bisa bercerita kemana pun tanpa beban sedikit pun. mungkin ini derita manusia yang ingin sekali disebut dewasa. menahan sendiri semua rasa, seperti dia tidak memiliki rasa.

masa lalu bercerita tentang anak kecil yang dengan bangga memiliki ibu dan ayah. gemar bersepeda entah kemana, membuat orangtua harus dengan sabar mencarinya. tidak hanya itu, keributan di rumah akibat perkelahian antara kakak dan adik karena hal sederhana juga membuat sepasang orangtua tersebut harus bersabar. usaha melerai yang berakhir dengan bantingan pintu kamar sang kakak menguji hati orangtua untuk ikhlas dan selalu memaafkan. bukan karena tidak sopan, sang kakak seperti itu hanya karena merasa sering dipojokan, dan adiknya terus lah yang dibela. iya, keadilan itu memang subjektif. jadi entah siapa yang benar dan salah, hakim sekali pun akan kalah dengan kekeras kepalaan dari sang kakak, kala itu.

lanjut cerita, rumah dari anak kecil ini berduka. sang ayah yang selalu dibanggakan pergi meninggalkan. bukan tidak bertanggung jawab, tapi Tuhan membutuhkan orang baik untuk kembali memperindah surga-Nya. atau, ayah dari anak kecil ini hanya ingin berubah menjadi partikel- partikel pembentuk organisme lain dan energinya menjadi sumber energi kehidupan lain. apapun alasan ayah dari anak ini pergi, tetap saja mulia tujuannya. dan tetap saja berduka bagi keluarga yang ditinggalkannya.

membesarkan si adik dan sang kakak tadi sendirian adalah tugas dari sang ibu. hingga suatu saat, sang kakak pergi mengejar cita- cita, dilanjut si adik yang juga ingin menggapai cita. terpisah kota membuat si adik mulai membenci keadaan. masa dimana seharusnya dia bisa ganti menjaga, namun adanya jarak menjadi kendala. ada dua orang kakak lagi yang setia menemani si ibu, namun tetap saja khawatir dan rindu selalu menyerbu.

sepintas cerita tadi mengingatkan saya akan rasa bersyukur yang harus saya miliki. menjadi si adik yang terpisah dari orang tua dan keluarga, bukan lah alasan menjadi sosok misterius namun "cengeng". bahagia harus selalu ada, apalagi kalau saya mengingat tatapan dan tawa bahagia dari kawan- kawan panti yang datang diacara kampus saya kemarin.

senang sekali rasanya bisa melihat tawa bahagia dari mereka, seperti tidak ada beban dan rasa kesepian. sebuah cambukan untuk diri saya yang manja ini. gemar mengeluh karena sulit bertemu keluarga, namun lupa kepada mereka yang memang keluarganya sudah tiada. rekan panti adalah keluarga, namun akan berbeda rasa dengan kita yang dapat berkumpul bersama keluarga kandung dari lahir di dunia. iya, saya harusnya dapat mencontoh mereka. selalu merasa bahagia.

satu pertanyaan besar saya mengenai acara kemarin dan acara buka bersama lain yang mengundang kawan- kawan dari panti asuhan, kenapa mereka selalu diposisikan di depan dan menghadap ke tamu? entah, mungkin saya yang terlalu perasa. saya terlalu sering memosisikan diri saya seperti orang lain, termasuk mereka. dan entah kenapa, saya merasa malu jika saya menjadi mereka. bukan karena saya tidak memiliki keluarga, namun karena harus menghadapi berbagai macam tatapan iba dari orang- orang di hadapan saya. saya gak suka.

tapi beruntung lah, mereka bukan saya. mereka tidak seperti saya yang memiliki mental lemah akan perlakuan beda dari orang lain. mungkin kawan- kawan panti tersebut menggunakan kalimat manjur dari kawan saya. mereka tidak hanya mengucap hamdalah, namun juga dapat menerima dengan ikhlas dan pasrah.

terima kasih atas pembelajarannya kemarin. umur memang tidak menentukan kedewasaan. kalian jauh lebih muda dari saya, tapi dapat mengajarkan hal seperti itu. 

hanya karena tawa, kalian dapat menunjukan bahwa hidup ini berharga.




Surakarta, 
11 Juni 2016, 18.00 WIB





Nindy Soeraatmadja

Share this:

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar