Ambiguitas dalam Kata Selaras

Tujuan orang hidup adalah bahagia, entah bagaimana caranya. Bisa dengan mengambil langkah instan sekadar untuk pembuktian, atau terus berjuang dengan penuh keikhlasan. Ikhlas? Iya. Karena banyak manusia yang saya temui, terlalu fokus mengejar pembuktian tadi, hingga lupa tujuan awalnya adalah mengabdi.

Akhir- akhir ini, pola pikir kita cenderung diarahkan untuk mengejar kesuksesan. Dan tidak heran, kesuksesan tadi sanggup membuat persahabatan menjadi memori dalam album kenangan. Bukan salah kita atau dia yang sanggup melupakan, zaman yang menuntut kita untuk mengejar kesuksesan.


Beda orang, beda sudut pandang.


Perdebatan tentang kesuksesan tadi, bukan saya yang menjabarkan. Hanya kesimpulan singkat dari pemahaman yang saya dapat setelah melihat pola pergerakan. Menurut saya, kesuksesan itu bukan saat  kita berhasil mencapai apa yang kita ambisikan, namun bagaimana kita bisa mendapat kebahagiaan tanpa merusak kehidupan. Kehidupan kita sebagai tokoh utama, dan kehidupan mereka sebagai pemeran sampingan.

Kehidupan merupakan alat uji untuk melepas diri dari zona nyaman. Catatan yang harus diingat, nyaman tidak berarti bahwa kehidupan harus penuh dengan kedamaian, karena konflik juga dibutuhkan. Untuk apa? Sebagai penyeimbang dari kehidupan.

Konflik yang didamba sebagai penyeimbang tadi, selalu dianggap sebagai tantangan baru untuk membuat semangat manusia terpacu. Namun miris untuk manusia yang gemar mengeluh. Terjebak dalam pusaran politik yang mencipta konflik, membuat jiwa manusia tadi jatuh. Beragam cara manusia lain gunakan untuk mengejar posisi demi meraih kesuksesan, membuat manusia tadi tidak memiliki gairah dalam menjawab tantangan. Kenapa? Hanya takut akan terciptanya perbedaan yang makin renggang. Iya, konflik bisa terjadi akibat manusia sadar bahwa perbedaan tetaplah perbedaan. Perbedaan tidak bisa disatukan, hanya bisa berdampingan namun tak sejalan.

"Dan juara lah dia, manusia yang dapat merebut empati orang lain dengan membuat penyelarasan semu akan perbedaan yang ia miliki, kepada manusia- manusia di lingkarannya."

Beruntung bagi mereka yang tidak pandai berpura- pura,  alergi dengan tatapan iba, dan gemar memendam rasa. Empati orang lain dengan sendiri tercipta, tanpa harus melebih- lebihkan suatu fakta, atau mencipta hal lain yang fiktif belaka. Karena tanpa menjadi juara, kehidupan mereka sudah sukses mencapai tujuan utama:



Bahagia.




Surakarta, 
27 Mei 2016, 01.37  Pagi



Nindy Soeraatmadja

Share this:

CONVERSATION

2 comments: