Memanusiakan Sosok Buruh

1 Mei. Hari buruh sedunia. May Day, katanya.

Berawal dari tragedi di bundaran lapangan Haymarket, 1 Mei 1886. Kaum buruh di Chicago menggelar aksi untuk merampas kembali hak mereka yang direnggut oleh para pemodal. Entah salah pemerintah, atau salah mereka sang pemilik modal yang serakah, seakan lupa bagaimana cara memanusiakan atas waktu kerja yang diberikan. Pengeksploitasian yang dilakukan pemilik modal dengan cara memonopoli waktu kerja buruh demi terciptanya laba maksimal, menunjukan sebuah ketamakan dari sistem kapital. Buruh bukanlah suatu hal yang dapat disejajarkan dengan mesin atau peralatan lainnya. Buruh hanya lah manusia yang juga memiliki rasa.

Tuntutan para buruh saat itu adalah adanya pembatasan jam kerja menjadi delapan jam. Namun naas, agenda perjuangan bersama yang mereka lakukan berakhir ricuh. Para penegak hukum menembaki demonstran dengan brutal. Bahkan, pimpinan buruh yang ikut terlibat demonstrasi saat itu pun ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Jadi tak heran, jika May Day dianggap sebagai hari untuk mengingat penindasan kelas buruh yang tertindas oleh sistem kapitalisme.

Membicarakan soal realita yang ada, di Indonesia sendiri, perjuangan akan hak buruh masih harus terus diperjuangkan. Tidak lagi hanya mempersoalkan jam kerja, banyak permasalahan buruh yang masih harus kita bela. Salah satunya, upah yang masih terhitung murah, terutama untuk kaum buruh informal. Masih banyak kaum buruh informal yang terpaksa mengorbankan waktunya lagi, guna mencari penghasilan tambahan. Ketidakmampuan mereka dalam mengakses upah minimum dikarenakan anggapan bahwa mereka hanyalah seorang pengangguran.

Kawan, hal inilah yang membuat kemiskinan masih ada di Indonesia. Kalau kita menengok ke salah satu standar untuk mengukur kesenjangan pendapatan yaitu Koefisien Gini, Indonesia saat ini berada di angka 0,41. Hal tersebut mengartikan bahwa kondisi Indonesia berada pada ketimpangan yang cukup berbahaya. Ironis jika kita melihat berita bahwa kekayaan para pemodal di Indonesia hampir menyamai orang- orang terkaya di dunia. Bisa dikatakan, kekayaan 1% pemodal di Indonesia, menguasai 50,3% kekayaan di Indonesia. Ya, pendapatan yang tidak merata.

Penekanan yang harus kita berikan di May Day kali ini ialah adanya kebijakan dari negara untuk mengatasi ketimpangan tadi. Kemiskinan secara perlahan harus diberantas. Bukan dengan mengedepankan para pemilik modal berkuasa, tapi adanya pembagian hak yang adil dan merata. Sebuah pekerjaan rumah untuk pemerintah Indonesia, bagaimana meningkatkan kapasitas produksi para buruh Indonesia, dengan tetap mengedepankan azas kemanusiaan dan keadilan. Pewajaran akan kesamaan antara manusia dengan mesin pencipta harus dihilangkan.

Sebuah mindset yang salah ketika labor disetarakan dengan capital.


“Kami satu: Buruh. Kami punya tenaga jika kami satu hati, kami tahu mesin berhenti sebab kami adalah nyawa yang menggerakannya.” –W.T
 

Hidup Buruh Indonesia!!




Nindy Soeraatmadja

Kementerian Luar Negeri BEM FEB UNS

Share this:

,

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar