Cita- Cita Tidak Sekadar IPK

“Cerita tidak melulu soal cinta, 
ini soal asa dalam penggapaian cita”
Hampir meninggalkan tahun kedua merantau di Surakarta, meninggalkan Jakarta untuk mengejar pekerjaan sesuai cita- cita. Iya, itulah Nindita.

Pemikiran yang aneh mulai ada di semester ini. Sering meninggalkan bangku kuliah untuk melaksanakan kewajiban yang menanti di luar. Tanggung jawab di organisasi serasa lebih penting dibandingkan amanah yang orang tua beri, menyelesaikan kuliah tepat waktu di waktu yang tepat dengan standar nilai diatas rata- rata. Manajemen waktu yang saya miliki berantakan di semester ini. Waktu belajar yang dulu saya dambakan hilang kendali. Sudah tidak ada lagi seorang Nindy yang merapikan catatan kuliah nya untuk dipelajari kembali di malam hari. Sudah tidak ada lagi seorang Nindy yang mengerjakan tugas di hari yang sama dengan waktu tugas itu diberi. Sudah tidak ada lagi seorang Nindy yang sibuk men-stabilo berbagai macam kertas hasil print-an lebih dari seminggu menjelang di-uji.

Nindy yang sekarang pecinta deadline.

Sama seperti tiga semester kemarin, menjelang akhir semester seperti ini, niat kembali pulang semakin rajin untuk datang. Bukan hanya karena rindu, namun juga terbayang betapa nyamannya berdiam diri di kamar pribadi tanpa harus berkutat dengan berbagai macam kewajiban (red: termasuk membaca grup Line).  Saya rasa, hampir setiap mahasiswa pasti memiliki kecenderungan seperti saya, malas- malasan ketika di penghujung semester. Entah faktor psikologis yang berperan karena otak yang sudah mulai letih akan banyaknya tugas yang dikerjakan selama satu semester ini, atau seperti saya yang mulai malas- malasan karena terbayang rasa nyaman ketika kembali dari perantauan, saya juga tidak paham.

Namun, dibalik rasa malas di penghujung semester ini, terselip rasa khawatir yang dalam di pikiran saya. jujur, ini bukan mendramatisir atau melebihkan suatu keadaan, saya takut nilai saya (lagi- lagi) mengecewakan mamah saya. terlalu banyak amanah yang saya sanggupi, sehingga saya lupa akan tanggung jawab pada orangtua saya sendiri.

“yang tau berapa banyak jeruk yang bisa kamu genggam itu cuma kamu, ndy,” ucap salah satu kakak tingkat saya.

Jeruk itu hanya sebuah penganalogian dari tanggung jawab. Kalimat tajam untuk seseorang yang terlalu senang mengambil tantangan namun lupa akan kemampuan. Dan kalimat itu terngiang ketika saya ditawari untuk memegang sebuah amanah besar lagi dari salah seorang rekan saya. Sangat tertarik akan tantangan yang diberi, ingin saya sanggupi namun beruntung masih ada kalimat itu yang menyadari.

Seandainya saya tidak lupa akan kewajiban terhadap mamah saya, pasti akan saya sanggupi tantangan tersebut. Mengakhiri tawaran dengan penolakan bukan merupakan ciri saya, namun kembali lagi ke yang tadi, ingin-memperbaiki-nilai-demi-memenuhi-kewajiban-dan-cita-yang-hendak-digapai.



“IPK kan hanya skala 0-4, karena 96-nya di luar kelas. Dimaksimalin yang 96-nya.”


Saya anggap ucapan itu hanya sebagai penghibur bagi mahasiswa- mahasiswa yang mulai panik akan nilai akademiknya.


Seperti  saya.





Surakarta,
24 Mei 2016, 01.17 pagi



Nindy Soeraatmadja

Share this:

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar