Tangis Menjadi Candu

Hampir setiap hari, saya mendapat pelajaran yang cukup berarti mengenai kehidupan. Kisah hari ini, berawal dari pertemuan saya bersama dua muslimah menginspirasi. Beliau- beliau inilah yang dapat membuat saya mengutarakan kegelisahan mengenai pola pikir saya. Entah karena apa, saya percaya bahwa mereka dapat menyimpan rahasia tanpa adanya fikiran negatif terhadap saya.

Setelah tiga bulan saya tidak menangis di depan orang lain, malam itu, saya menangis di depan mereka. Bukan mendramatisir, tapi malam itu, saya merasa adanya tekanan yang berasal dari dalam diri saya sendiri. Saya muak dengan pemikiran yang saya miliki. Saya geram akan ketidaktahuan yang saya punya. Dan yang teramat menyebalkan adalah keadaan dimana saya hanya bisa diam.


“ndy, kamu kemarin kenapa tiba- tiba bisa nangis gitu?”


Awal perbincangan di mulai ketika salah satu dari Mbak saya menanyakan kejadian kramat tersebut. Saya jelaskan alasan mengapa saya menangis. Tidak sepenuhnya, hanya sepersekian yang saya rasa layak. Sempat terselip kalimat di mana saya mengatakan bahwa seharusnya saya tidak menangis di depan orang lain, karena itu merupakan ajaran dari salah satu idola saya. Lalu, Mbak saya mengatakan bahwa menangis bukanlah hal yang salah. Karena dengan menangis, kita dapat merasakan kehadiran dari Allah SWT. Dalam posisi terlemah, pasti Tuhan lah yang menjadi sasaran kita untuk bercerita dan meminta. Hal yang dapat saya simpulkan lagi dari perbincangan mengenai tangis tadi adalah, “hanya orang angkuh lah, yang bahkan ketika sendiri, dia tidak menangis. dia-tidak-bisa-menangis.”

Perspektif orang memang berbeda- beda dalam menilai suatu hal. Termasuk saya. Menurut saya, ada kecenderungan negatif terhadap kita dalam hal ‘menahan tangis’. Bukan gila akan pujian agar disebut hebat, hanya sebuah perlambangan dari mental yang kuat. Hanya Tuhan lah tempat kita untuk curhat, bukan tatapan mata iba dari rekan- rekan yang berlomba memberi pendapat. Terkesan angkuh memang, tapi cobalah menilai secara objektif. saya menahan tangis, hanya karena saya tidak suka orang lain memiliki rasa iba terhadap saya. Hanya itu.

Mendengar pendapat dari Mbak saya, entah mengapa, sel- sel otak saya mentransformasikan bahwa ada kebebasan untuk Nindy yang sekarang menangis. Dimanapun dan kapanpun. Sebenarnya, menjadi sosok yang ekstrovert merupakan salah satu keunggulan. Dan disitulah pilihan, seorang Nindy apakah bisa mengubah kecenderungan pola pikir negatif nya terhadap tangis? Wallahualam.


Berbicara soal tangis, Senja merupakan wadah tangis saya pertama ketika saya ingin menangis. entah, hingga seminggu yang lalu pun, ketika saya kesal dan ingin menangis, dia yang pertama saya hubungi. Hari ini, saya bertemu dengannya. Rasa malas menyapa tentu ada, karena hal itu yang biasa ia lakukan kalau jumpa. Seakan, saya hanya angin lalu baginya.

Tapi tadi ia berubah. Senja menepati janjinya. Senja menyapa saya lebih dulu. Tidak hanya itu, ia pun sempat membangun tawa di malam itu. Mungkin memang tempat itu bukan ranah saya, atau memang grogi yang ada membuat saya hanya bisa diam ketika Senja berusaha mencipta tawa. Dia sahabat saya. Saya senang dia mau menyapa. Sederhana, tapi saya suka.


Kembali ke pelajaran hari ini. Mbak saya sempat mengatakan, “sesungguhnya, setiap manusia itu sudah terlahir berhutang.” Ini bukan dalam konteks ekonomi, kawan. Yang dimaksud Mbak saya, setiap manusia sejatinya adalah Muslim. Maka dari itu, hutang yang ada adalah hutang tauhid. Bagaimana cara setiap manusia untuk meng-Esa-kan Allah SWT. Menganggap Allah SWT adalah satu- satunya pencipta dan Tuhan yang ada. Kita tidak akan bisa menyamakan perlakuan antara kita dengan manusia, dan perlakuan kita dengan Allah SWT. Jadi, penalaran yang kita punya pun seharusnya dibatasi.


Pertanyaan terakhir di hari ini,
“bagaimana cara kita menjadi Muslim yang cerdas dalam berargumentasi, ketika pemikiran kita harus dibatasi?”

entah.





Nindy Soeraatmadja

Share this:

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar