Hai Indonesia, April Mop untuk anda
Surakarta, 1 April 2016
Hari tipuan. Saya rasa begitu. Hari
dimana kita bebas menipu orang dengan kata- kata ampuh diakhir perbincangan.
April Mop.
Saya ingin sekali ada yang mengatakan
hal tersebut pada saya. setelah mata
kuliah Pengantar Sosiologi tadi, saya berharap dosen saya mengatakan kata ampuh
tersebut. Otak saya tak henti berpikir mengenai posisi saya, masa depan saya,
dan bagaimana jadinya saya kelak.
Banyak yang bilang, Indonesia ini
negeri dongeng. Simbol garuda yang diagung- agungkan sebagai lambang negara,
bukan suatu hal yang nyata. Pun mengenai sistem ekonomi yang ada. Kerakyatan. Tidak
ada mata kuliah yang menggunakan buku dan menyebut kata- kata kerakyatan
tersebut. Ehm.. yah, atau mungkin juga dosen saya yang tidak pernah memberikan
referensi untuk menggunakan buku penganut sistem ekonomi bangsa sendiri. Mendengar
nama Mubyarto, Sri-Edi Swasono, hanya dapat saya temukan ketika saya mem-browsing ekonomi kerakyatan dari ruang
tanpa batas ini. Internet.
Ekonomi rakyat yang dipayungi oleh
ekonomi pancasila merupakan solusi moral
dan politik untuk dekonstruksi ekonomi penindasan kolonial, menuju rekonstruksi
sistem ekonomi nasional Indonesia (Sri-Edi Swasono:2013). Ekonomi kerakyatan
ini mengajarkan kita untuk menghindari persaingan dan mempererat kebersamaan. Namun,
dengan maraknya doktrin kapitalis dalam buku yang kita pelajari, tanpa sadar mindset kita diarahkan untuk bersaing. Mendapatkan
keuntungan sebesar- besarnya untuk diri kita, keluarga kita, dan golongan kita.
Kita tidak diajarkan bagaimana caranya memakmurkan kondisi kita secara bersama.
Pemikiran seperti, “hasil yang diraih
sebanding dengan pengorbanan,” menjadi argumen yang akan dipakai mayoritas
orang untuk membela dirinya ketika dikelompokan dalam golongan tamak. Saya tidak
bilang bahwa pemikiran tersebut salah. Hanya coba dipikirkan kembali, cerita
yang pasti kita sebagai umat muslim tahu. Kisah nabi Ibrahim a.s yang rela
mengorbankan anaknya untuk disembelih. Apa hasil yang beliau raih setimpa
dengan apa yang dikorbankan? Ketika nabi Ibrahim a.s menyembelih nabi Ismail a.s, apa beliau
mendapatkan anak yang identik dengan nabi Ismail a.s? tidak bukan?
Dari kisah diatas, kita bisa
menyimpulkan bahwa apa yang kita raih di dunia, tidak “melulu” harus sama dengan apa yang kita korbankan. Rasional itu
perlu, tapi nurani tetap nomor satu. Ketika kita sibuk menulis dan membolak-
balikan penglihatan pada pantulan sinar proyektor di depan, serta melihat dosen
mencorat- coret papan dengan spidol hitam, apa pernah terlintas dipemikiran
kita “ada mereka yang membutuhkan uluran tangan karna tidak punya pekerjaan
dibalik papan itu.” Bukan, bukan karna malas, tapi karna zaman yang diciptakan
oleh kaum pecinta persaingan.
Saya merasa gamang dengan apa yang saya cita-
citakan. Belajar hanya untuk memiliki pekerjaan bagus dan mendapat gaji besar demi membalas jasa Ibu dan kakak-
kakak yang telah menyekolahkan. Seakan, saya tidak peduli dengan mereka si pengangguran,
karna bagiannya sudah diambil oleh mereka- mereka yang terhitung berkecukupan.
Dosen saya berkata, “yang saya
takut, kemiskinan dijadikan objek agar terus menjadi bahan pembicaraan. Menjadi
ladang pekerjaan bagi mereka yang dinilai pakar dalam membahas kemiskinan.”
Benar. Si kaya, hanya mereka yang
mengerti tentang kemiskinan. Kesenjangan, sekadar teori ketika kita membahas
kemiskinan. Solusi untuk memeratakan pendapatan, seakan hal tabu ketika
pertumbuhan ekonomi yang kita tuju. Apa yang kita mau? Lokalitas hilang
tertindas oleh globalitas. Perekonomian berdasar budaya, sudah tiada. Kerakyatan?
Hanyalah angan- angan bagi dia si idealis.
Saya harap, tanggal 1 April ini
segera selesai. Kata- kata April Mop segera ada yang melontarkan. Agar Indonesia, tidak terus tertipu dengan
kemiskinan yang ada.
Hai, Indonesia.
April Mop untuk anda.
Cepat tersadar, dan kembali ke
landasan kita.
PANCASILA.
Mahasiswi pecinta angringan yang
masih sering (terpaksa)
menyedekahkan uangnya di restoran
penganut Liberal-ian
Nindy Soeraatmadja
0 comments:
Posting Komentar