POLITIKOS

Berawal dari ucapan salah satu dosen saya kala itu.


“Kalau anda ingin menjadi petinggi BI, anda harus terjun ke politik”



Politik. Kalau kata Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Bersama yah… catet.


Yang saya lihat saat ini, politik hanya usaha mewujudkan kebaikan bersama bagi golongan tertentu. “Bersama” menurut golongan tersebut. Bukan untuk seluruh warga Negara. Saya tidak berani menyebutkan golongan apa itu, tapi saya rasa anda pun sudah tahu. Penguasa dengan sebutan lain: Mafia.

Saya keceplosan. Maaf…


Dulu saya cenderung apatis. Rajin nonton berita, tapi hanya bisa menyalahkan segala kebijakan yang dibuat oleh penguasa. Tidak ada solusi, tidak ada pemikiran kritis bersifat membangun. Dan bahkan, berfikiran untuk memberikan solusi pun tidak. Ucapan seperti  “udah lah, pemerintah lebih tau apa yang seharusnya mereka lakuin” sering ada di otak saya ketika melihat berita mengenai demonstrasi mahasiswa. Ya, bodoh memang. Menyalahkan kebijakan pemerintah, tapi masih berfikiran kalau pemerintah tahu segalanya.


Sekarang pun, saya masih apatis. Saya tidak tertarik kalau membahas perpolitikan Indonesia. Yang saya pedulikan, bagaimana perekonomian saat ini. Titik. Sampai situ saja. Yang jelas, saya tidak mau terlibat dalam hal apapun mengenai politik. Saya anak ekonomi dan saya merasa tidak berkewajiban untuk terlibat langsung dalam politik apapun.

Ya, apapun.


Saya keliru. Secara tidak langsung, semenjak saya bergabung dengan BEM fakultas saya, ternyata saya sudah memasuki dunia politik. Ya, perpolitikan dalam fakultas sendiri. Ehm atau kampus sendiri? Entah.


Dan kabar buruknya adalah… saya tertarik. Saya tertarik pada suatu hal yang saya anggap menjijikan dari SMA ini. “Dicekoki” berbagai macam informasi mengenai keadaan kampus sendiri, hubungan dari tiap partai eksternal, dan bahkan isu- isu dalam negeri (yang tidak lama kemudian saya temukan di media) membuat saya merasa semakin penasaran dengan hal yang disebut politik ini.


Politik itu kotor, sudah pasti kotor. Apa ada bukti yang bisa saya pakai untuk menggambarkan suatu keadaan dari politik yang  bersih?  Bagi mereka yang keluarganya terlibat langsung dalam politik di Indonesia, pasti menentang argumen saya mengenai politik kotor. Mereka akan dengan yakin dan keras mengatakan bahwa keluarganya bersih. Dan mungkin saya pun juga akan begitu.


Politik itu bukan mengenai kotor atau bersihnya, tapi  dilihat dari tingkat kepentingannya. Sebagai contoh, ketika penguasa menganggap bahwa militer itu penting, maka politik dari Negara tersebut akan memiliki fokus utama ke bagian militer. Ketika penguasa menganggap kesehatan itu penting, maka politik dari Negara tersebut akan memiliki fokus utama ke bagian kesehatan. Ketika penguasa menganggap bahwa keuangan keluarganya itu penting, maka…. Yha baiklah, tidak akan saya lanjutkan.


Inti dari pembicaraan ini sebenarnya bukan membahas politik itu kotor atau bersih sih, melainkan kepentingan dari politik itu sendiri. Kalau kita ingin perpolitikan di Indonesia sesuai dengan tujuannya, fokus utama kita bukan dengan cara membersihkan politik, tapi mengatur ulang prioritas kepentingan dalam politik. Jadi, tidak ada lagi alasan bagi kalian (terutama saya)  untuk bersikap apatis karna anggapan bahwa politik itu kotor.




Terakhir, saya mau laporan. Pak Dosen, saya sudah terlibat dalam dunia perpolitikan di kampus. Apa saya masih ada kemungkinan menjadi petinggi di Bank Indonesia?



Tertanda,



Nindy Soeraatmadja


Share this:

CONVERSATION

2 comments:

  1. follow blog aku dwoooong~ isinya gk berat kyk kamu sih, cm dangdut dangdutan doang hiks

    BalasHapus