Drama Perjuangan Sang Ronny Setiawan
5 Januari 2015. Berbagai macam timeline di sosial media saya
dihebohkan oleh berita mengenai Ronny.
Ya, ketua BEM UNJ yang “hampir” dikeluarkan oleh Prof. Djaali, selaku rektor
UNJ, hanya karna Ronny memiliki tingkat kekritisan yang tinggi. Berpegang teguh
pada prinsip bahwa “demokrasi di kampus tidak boleh dimatikan”, berbagai macam
dukungan mengalir deras untuk Ronny. Baik diskusi kecil di berbagai sosial media,
penandatangan petisi, sampai ajakan untuk mengirimkan pesan singkat ke ponsel
pribadi Prof. Djaali pun menjadi salah satu upaya untuk mendukung kembali hak
yang dimiliki Ronny. Gerakan semacam ini
adalah gerakan melawan kesewenangan dan tuntutan akan terwujudnya kampus yang
transparan. Bahkan tak heran, kalau BEM-
BEM se-Indonesia juga turut andil dalam menyatakan sikap. Dan beredar kabar
bahwa mereka siap turun ke jalan untuk memberikan perlawanan. Ya, melawan tirani.
Kami mahasiswa, bukan kaum proletar yang bisa digulingkan
begitu saja ketika sedang berjuang. Hak suara kami bukanlah hak seorang budak
yang dengan pasrah bisa diambil dan dipakai seenak jidatnya oleh kaum borjuis.
Kami mahasiswa, berhak bersuara. Tanpa ada hak dari mereka yang berkuasa untuk
membungkam dengan segala macam bentuk kediktatoran.
Esoknya, sekitar pukul setengah empat sore, dari grup
whatsapp saya yang bernama Front Aksi Sebelas Maret, saya mendapat kabar bahwa
Pak Rektor Djaali bersedia mencabut surat pemecatan terhadap Ronny. Ucapan
syukur jelas muncul sebagai reaksi dari
hal ini. Ini membuktikan kebenaran dari kalimat “mahasiswa bersatu tidak bisa
dikalahkan”. Ya, kita menang kawan.
Tapi bentar… udah nih? Gini doang? Drama yang berjudul
“SaveRonny” ini cuma berakhir gini doang?
Tidak lama kemudian, saya membuka salah satu grup Line saya.
BEM FEB UNS. Disitu ada yang mengirimkan foto surat pernyataan antara pimpinan
UNJ dan BEM UNJ. Terdiri dari lima poin yang ditandatangi oleh Prof. Djaali
selaku rektor UNJ dan Ronny Setiawan selaku ketua BEM UNJ.
Baru saya baca sekali, saya sudah menemukan kejanggalan.
Sebelum saya publish keresahan saya
di grup tersebut, saya baca ulang lagi surat pernyataannya. Takut kalau memang
saya yang salah tangkap. Maklum, saya pemula. Jiwa saya masih belum siap kalau
ada yang mengkritisi dengan nada pedas ketika salah. Dan grup tersebut, salah
satu grup yang membuat saya “berfikir-berulang-kali-sebelum-bicara” .
Benar, ini ngaco.
Poin pertama dari surat pernyataan itu yang jadi bahan acuan saya.
“BEM UNJ sepakat untuk menarik dan meralat seluruh
pernyataan dan berita- berita yang dimuat di media sosial yang memuat fitnah,
penghinaan, dan penghasutan yang diposting
oleh mahasiswa UNJ yang dapat menimbulkan keresahan serta kesimpang-siuran
yang multi tafsir sehingga berdampak pada iklim akademik dan aktivitas kampus
secara keseluruhan”.
Terlalu subjektif. Sesuatu yang bisa dikatakan penghinaan
dan penghasutan itu tidak memiliki standar yang pasti. Bagaimana bisa poin
tersebut dijadikan acuan dalam surat sepenting itu. Kasus “yang dibuat- buat”
ini pun berawal dari hal yang subjektif kan? Memunculkan masalah lain untuk
melawan kasus yang memang sebenarnya kasus. Duh, ayam.
Tidak mungkin kalau seorang Ronny dan kawan- kawannya tidak
peka akan hal ini. Saya saja yang masih cemen
bisa langsung menemukan kejanggalan ini. Masa iya, seorang aktivis seperti
Ronny yang isunya akan menjadi caleg dari partai yang “cukup” besar bisa tidak
sadar akan kesepelean ini. Sakit.
Ya, saya bersyukur mas Ronny kembali menjadi mahasiswa. Saya
bersyukur karna upaya yang dilakukan rekan-
rekan mahasiswa untuk membelanya berhasil. Dan saya bersyukur bahwa surat
terbuka yang dilayangkan oleh Bapak Fahri Hamzah kepada Prof. Djaali pun berbuah
manis.
Ya, tapi saya juga kecewa. Hanya ber-mahar-kan pengaktifan
kembali dirinya menjadi mahasiswa UNJ, seorang Ronny bisa mengambil keputusan
untuk mencabut seluruh statement perjuangan
dan sikap mahasiswa atas tuntutan yang ia tujukan kepada rektorat. Upaya mahasiswa
(bisa saya katakan se-Indonesia) mendukung Ronny dalam membentuk UNJ yang lebih
transparan seakan sia- sia. Drama perjuangan yang saya kira akan berlangsung
cukup lama, ternyata hanya sehari. Mengecewakan.
Mas Ronny, saya ingin mengucapkan selamat kepada anda. Ya, lagi-
lagi status kita sama. Mahasiswa. Saya hanya ingin mengingatkan, teruslah
berani suarakan apa yang memang layak dipermasalahkan. Lawan segala macam
bentuk kediktatoran. Zaman sekarang serba canggih. Kita bukan hidup di era Pithecanthropus erectus masih
hidup. Kita hidup di zaman teknologi yang terus berkembang pesat, di mana
segala macam bentuk kediktatoran di Negara demokrasi ini akan sangat mudah
tersebar luas. Arus informasi dan dukungan dari kami para mahasiswa, tidak
mungkin kalah melawan pejabat kampus yang bisa disebut otoriter itu. Jadi,
teruslah berani untuk bersikap kritis, mas.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada, Mas Ronny. Setidaknya
dengan kasus ini, saya merasakan kembali pergerakan mahasiswa yang bersatu
untuk berjuang melawan tirani birokrasi kampus.
Ya, terima kasih dan selamat untukmu, sang Ketua BEM UNJ.
Ronny Setiawan.
9 Januari 2015,
Mahasiswi FEB UNS,
Nindy Soeraatmadja
0 comments:
Posting Komentar